Selasa, 03 Februari 2009

KAJIAN EKONOMI POLITIK TERHADAP KEBIJAKAN KEPARIWISATAAN

Oleh : Srie Saadah Soepono -2008
I PENDAHULUAN


Berbicara tentang kepariwisataan nasional dalam kaitan dengan ketentuan perundang-undangan, mengharuskan kita melihat 3 dimensi sebagai kurun waktu masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa agar penyelenggaraan kepariwisataan dapat berhasil dengan baik, perlu dimanfaatkan secara tepat komponen yang menjadi pendukungnya. Diantara komponen-komponen tersebut yang telah dimiliki bangsa Indonesia, bahkan merupakan modal dasar bagi pengembangan kepariwisataan adalah alam flora dan fauna, serta budaya bangsa. Tuhan Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan kepada bangsa kita sebuah tanah air yang berupa suatu kepulauan yang terbesar di dunia, yang terdiri dari 17.058 pulau besar dan kecil yang disatukan oleh lautan Nusantara. Laut yang luas bukan saja indah, tetapi sekaligus merupakan potensi pariwisata bahari yang sukar dicari tandingannya di dunia.
Di samping itu bangsa Indonesia yang merupakan kesatuan dari berbagai sukubangsa, memeluk berbagai agama dan kepercayaan, berbicara dalam berbagai bahasa daerah, pendukung sub kultur daerah yang beraneka ragam, tetapi berada dalam satu ikatan kejiwaan, memiliki satu pandangan hidup sebagai suatu bangsa berdasar Pancasila. Ternyata bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika tersebut juga merupakan modal yang besar untuk membangun kepariwisataan nasional. Bahkan jika kita mengamati sejarah, budaya bangsa tersebut bukan sekedar baju yang memberi warna khas kepada bangsa Indonesia, tetapi kebudayaan yang bersemayam di dalam jiwa rakyat itu, ternyata telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan dahsyat yang mampu berdiri tegar di bawah penjajahan politik bangsa lain.
Modal-modal dasar yang merupakan potensi besar tersebut perlu dibuat efektif agar memberi manfaat secara langsung pada kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Dimasa-masa lampau, khususnya pada dasa warsa pertama dan kedua dalam kehidupan bangsa yang merdeka, walaupun pemerintah telah mampu melihat modal dasar alam, flora, fauna dan budaya sebagai potensi kepariwisataan, namun secara nasional ada masalah-masalah yang jauh lebih besar yang menyangkut eksistensi bangsa yang perlu diberi prioritas.
Dengan kondisi nasional demikian, dapatlah dipahami bahwa kegiatan kepariwisataan belum memberi warna kepada kehidupan bangsa, dan dapat dimengerti pula bila peraturan perundang-undangan di bidang tersebut belum banyak diterbitkan.
Berbeda dengan kurun waktu tersebut, pada dasa warsa tujuh puluhan dimana situasi nasional sudah berkembang kearah pembangunan ekonomi, berkembang pula kesempatan untuk membangun dan menata berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan agar pembangunan ekonomi itu sendiri dapat berlangsung dengan baik secara bertahap dan mantap, tersedia fasilitas transportasi, telekomunikasi informasi dan lainnya yang mempengaruhi bahkan menentukan aspek aksesibilitas. Faktor-faktor tersebut sangat penting bagi kepariwisataan. Bersamaan dengan itu pula pemerintah berusaha menciptakan dan memelihara stabilitas yang dinamis di bidang ekonomi, social-budaya, politik maupun pertahanan dan keamanan, yang sangat penting dalam upaya menciptakan iklim kondusif. Kondisi aman dan stabil juga merupakan faktor lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan kepariwisataan nasional.
Faktor-faktor yang disebutkan diatas ditambah dengan naiknya pendapatan perkapita sebagai akibat pembangunan di bidang ekonomi, telah meningkatkan mobilitas penduduk dari satu daerah ke daerah lain yang didasarkan berbagai motivasi. Keadaan ini secara tidak sadar telah mendorong majunya kepariwisataan dengan meningkatnya secara drastis kebutuhan akan transportasi, akomodasi, restoran dan lain-lain usaha yang terkait seperti biro perjalanan, informasi tentang daerah tujuan wisata, objek dan daya tarik wisata.
Menyadari kondisi yang semakin maju, pemerintah mulai lebih sistematis dan intensif menangani kegiatan kepariwisataan dengan memperhatikan tidak saja yang bersifat teknis, akan tetapi juga aspek kebijakan. Termasuk didalamnya adalah merubah citra masyarakat terhadap pariwisata dari yang negatif menjadi positif. Hal ini penting agar pembangunan pariwisata mendapat dukungan dari masyarakat. Sungguh suatu kemajuan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi di sisi lain juga menimbulkan tuntutan bukan saja mengenai perangkat kerasnya, tetapi juga juga mengenai perangkat lunaknya, termasuk di dalamnya adalah masalah-masalah di bidang pengaturan.
Tuntutan kebutuhan yang meningkat secara drastis tidak dapat menunggu terlalu lama, dan tidak dapat dibiarkan berjalan tanpa adanya undang-undang sebagai dasar hukum yang kokoh. Menghadapi situasi demikian, pemerintah mengatasi secara kasuistik, dengan masalah yang timbul atau bersifat sektoral tergantung dari sektor permasalahan yang dihadapi, berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Rancangan Undang-Undang Kepariwisataan telah dipersiapkan sejak tahun 1971, dan baru disyahkan sebagai Undang- Undang pada tahun 1990, yang bernomor 90, sampai saat ini masih dianggap masih efektif dilaksanakan.
Dengan demikian yang menjadi motivasi terkuat menetapkan Undang-Undang tersebut adalah desakan perkembangan kegiatan kepariwisataan yang memberikan tantangan yang harus diatasi. Karena itu berbagai studi dilakukan baik melalui studi banding ke Negara-negara yang dinyatakan sudah maju kepariwisataannya, ataupun juga melalui penelitian ke berbagai daerah di Indonesia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan atau dikelola dengan baik.
Agar undang-undang dapat diserap oleh masyarakat Indonesia, bahan-bahan yang telah terkumpul di tangan pemerintah diperkaya dengan menyerap berbagai aspirasi masyarakat.
Dengan demikian, tepatnya pada tanggal 27 September 1990 telah diukir dengan mengisi kemerdekaan melalui pemberian landasan yang lebih kukuh untuk membangun dunia kepariwisataan Indonesia, dengan lahirnya Undang-Undang Kepariwisataan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya yang memotivasi utama keinginan besar digulirkannya Undang-Undang Kepariwisataan ini adalah sebagai tanggapan aktif terhadap globalisasi dan daya saing yang semakin tinggi


II MANFAAT KEBIJAKAN

Perkembangan teknologi dewasa ini telah menimbulkan tuntutan baru dalam penyelenggaraan kepariwisataan yang patut menjadi perhatian dengan sungguh-sungguh karena persaingan akan semakin ketat dan pelayanan dituntut lebih tinggi kualitasnya. Di sisi lain wajib diwaspadai kemungkinan timbulnya dampak negative terhadap kehidupan nasional, terutama polusi budaya dan dampak negative terhadap kelestarian dan mutu lingkungan hidup. Untunglah hal-hal demikian telah tercantum dalam pasal-pasal Undang-Undang Kepariwisataan. Di samping itu Undang-Undang tersebut secara jelas memberikan landasan idiil, filosofi dan sekaligus operasionalnya. Sedangkan arah dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan tidak hanya ekonomis saja sebagai peluang untuk memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, tetapi juga tetap memperhatikan nilai-nilai agama, kebudayaan, adat istiadat yang secara keseluruhan diarahkan untuh memperkokoh jati diri bangsa. Bahkan juga ada aspek politis yaitu mempererat kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan wawasan nusantara serta mempererat persahabatan dunia.
Sungguh Undang-Undang Kepariwisataan ini merupakan hasil karya bangsa yang tidak menjiplak bangsa lain, juga tidak sekedar mengadakan penyempurnaan atau penyesuaian terhadap undang-undang yang ada, tetapi benar-benar produk hukum nasional yang asli yang didasarkan pada falsafah yang integralistik sesuai dengan dasar Negara Pancasila.
Dengan adanya Undang-Undang Kepariwisataan ini, menjadi mantaplah penyelenggaraan kepariwisataan nasional, karena dasar berpijak lebih kukuh, landasan bergeraknya lebih kuat, batas-batas kewenangan lebih jelas, pengelompokan usaha menjadi tegas, begitu pula keikutsertaan masyarakat mendapat tempat secara proporsional.
Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, penyelenggaraan dan pembinaan kepariwisataan nasional bertambah lugas, lebih menyuburkan dan memeratakan usaha-usaha bidang kepariwisataan, mendorong dan memacu pembinaan kebudayaan nasional, memperkukuh jati diri bangsa yang pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu daya tarik wisata dunia yang handal. Tetapi yang terpenting adalah memberikan sumbangan yang nyata kepada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Jika kepariwisataan nasional yang demikian terwujud, ditengah-tengah Negara lain berlomba mengejar kemajuan teknologi yang dapat mengakibatkan kegersangan kehidupan cultural, maka kelestarian lingkungan hidup dan kesuburan budaya nasional, yang merupakan buah keberhasilan pembinaan kepariwisataan Indonesia berdasarkan undang-undang ini, akan terwujudlah ungkapan tentang kemasyhuran Indonesia sebagai Zamrud di khatulistiwa, bahkan dapat menjadi taman sarinya dunia.
Keanekaragaman sukubangsa di Indonesia dengan kebudayaan yang dimiliki masing-masing sukubangsa tersebut turut memberikan andil dan peranan bahkan pengayaan pada dunia kepariwisataan Indonesia. Sungguh suatu kekayaan yang luar biasa yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai sektor kehidupan bangsa Indonesia, adalah asset yang seyogianya memang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Tidak hanya di daratan, di lautan pun tidak sedikit kekayaan yang bisa dijadikan peluang besar kepariwisataan bahari Indonesia ini. Sehingga di era Presiden Megawati Soekarno-putri, diterbitkan Surat Keputusan Presiden Nomor 126 tahun 2001, tentang penetapan tanggal 13 Desember sebagai hari perayaan nasional untuk memperingati Hari Nusantara. Namun Keppres tersebut masih bersifat fakultatif.
“Kita harus mampu memperoleh jalan keluar yang lebih baik, dari sekedar membagi-bagi laut menjadi wilayah-wilayah otonom. Dengan peringatan Hari Nusantara ini, mari kita perteguh tekad dan semangat untuk menjadikan laut sebagai pemersatu. Laut adalah perekat kehidupan bangsa yang sangat beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, sekaligus menggugah kesadaran untuk membangun wawasan nusantara dengan meletakkan seluruh aspek kehidupan berbangsa sebagai satu kesatuan yang utuh”.Demikian disampaikan Megawati pada peringatan Hari Nusantara tahun 2004 di Cilegon Banten.
Mempertimbangkan begitu besarnya potensi wisata di Indonesia itulah maka sudah sepantasnya ada peraturan yang bisa memberikan berbagai rekomendasi dan keleluasaan dalam menangani berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kepariwisataan, seperti wilayah kepemilikan kawasan wisata akibat Otonomi daerah, obyek dan daya tarik wisata, usaha pariwisata, peran serta masyarakat, pengelolaan, pembinaan dan sebagainya.
Perkembangan kepariwisataan di Indonesia dapat dibuktikan dengan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke kawasan wisata Indonesia dari tahun ketahun terus meningkat, walaupun pada tahun 2002 sedikit menurun akibat bom Bali, karena Bali merupakan barometer kepariwisataan Indonesia. Namun setahun setelah itu kepercayaan wisatawan asing akan keamanan di Indonesia mulai membaik, dan wisatawan pun berdatangan ke Indonesia.
Untuk mengimbangi arus wisatawan mancanegara ke Indonesia, telah dibuka 13 pintu masuk melalui lapangan terbang, yaitu Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, Polonia, Batam, Sam Ratulangi, Juanda, Entikong, Adi Sumarno, Minangkabau, Mataram, Hasanuddin, Tanjung Priok dan Tanjung Pinang. Belum lagi wisatawan yang datang melalui pelabuhan Laut.
Dengan melihat tantangan masa depan, perkembangan teknologi, beserta pertumbuhan pariwisata dunia, maka undang-undang yang akan dilahirkan nanti harus mampu mengantisipasi perkembangan dunia masa depan berikut dampak negatifnya. Oleh karenanya perlu pula dipertimbangkan dua hal sebagai berikut:
1. Kepesatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang transportasi, telekomunikasi dan informatika, yang erat hubungannya dengan kepariwisataan.
2. Sifat interdependensi internasional, yang mengharuskan perlunya kerjasama internasional antar bangsa dipererat.
Kedua hal tersebut baik langsung maupun tidak, mempunyai dampak baik positif maupun negative, yang berupa tuntutan terhadap pembinaan dan perkembangan pariwisata nasional yang lebih lugas dan mantap.



BAB III. PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PROSES PEMBENTUKAN KEBIJAKAN SERTA PEMBAHASANNYA

Suatu peraturan, baik dari segi struktur diawali dengan Undang-Undang sampai dengan Peraturan-Peraturan Daerah, sudah pasti tidak dapat dilakukan sendiri dalam arti satu instansi saja, satu institusi saja, atau hanya pimpinannya saja yang membuat. Peraturan dibuat mungkin atas prakarsa suatu institusi misalnya karena dianggap perlu untuk dibuat pada saat itu, akan tetapi keterlibatan berbagai pihak sangat diperlukan. Hal ini disamping mendapat banyak masukan guna memperkaya peraturan tersebut, akan tetapi yang lebih penting adanya koordinasi yang jika peraturan itu diberlakukan akan mendapat respon berbagai pihak secara bersama-sama. Seperti juga dengan Undang-Undang Kepariwisataan NO. 9 tahun 1990 ini, yang sebelumnya disusun terlebih dahulu Rancangan Undang-Undangnya yang bernomor : R.09/PU/XII/1989, senantiasa merupakan hasil dari rumusan berbagai pihak terkait, apakah itu instansi pemerintah, swata, Pengusaha, Lembaga Swadaya Masyarakat, Asosiasi atau organisasi, Tokoh Masyarakat dan sebagainya.
Pihak utama yang terlibat atau yang mempunyai gagasan pembentukan Undang-Undang Kepariwisataan ini adalah Pemerintah yang waktu itu masih Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, dimana Bapak Susilo Soedarman sebagai Mentrinya.
Berangkat dari Ketetapan MPRRI Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Sub Sektor Pariwisata dikemukaan antara lain, bahwa:
“Pembangunan kepariwisataan dilanjutkan dan ditingkatkan dengan mengembangkan dan mendayagunakan sumber dan potensi kepariwisataan nasional menjadi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan untuk : memperbesar penerimaan devisa, memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja terutama bagi masyarakat setempat, mendorong pembangunan daerah serta memperkenalkan alam, nilai dan budaya bangsa”.
Dengan demikian jika diperhatikan lebih seksama amanat BGHN tersebut, maka pariwisata sebagai salah satu aspek penyelenggaraan Negara, sudah seharusnya diselenggarakan berdasarkan norma dasar kenegaraan sebagaimana tercantum dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, karena GBHN itu sendiri merupakan penjabaran dan bersumber kepada landasan idiil dan konstitusional tersebut.
Oleh karena itu, maka penyelenggaraan kepariwisataan nasional di dalam praktek harus mampu menjadi sarana untuk mengejawantahkan cita-cita bangsa, dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melestarikan dan memperkukuh jati diri bangsa, serta dapat menjadi piranti untuk ikut serta menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan atas kemerdekaan, keadilan sosial guna mewujudkan perdamaian abadi antara bangsa-bangsa di dunia. Dalam upaya ingin mewujudkan cita-cita tersebut perlu dimiliki gambaran yang nyata tentang kegiatan kepariwisataan nasional baik terkait dengan Wisman (Wisatawan Mencanegara) maupun WISNU (Wisatawan Nusantara).
“Perkembangan kegiatan pariwisata, dalam kurun waktu satu dasa warsa terakhir ini misalnya, tampak dengan jelas bahwa kegiatan pariwisata telah mempunyai peranan yang konkrit dengan sumbangan yang nyata bagi pembangunan nasional, meskipun kita belum pernah memiliki sebuah undang-undang nasional di bidang kepariwisataan sejak Indonesia merdeka sampai kini, kita juga dapat mengamati terdapat kecenderungan terus meningkatnya kegiatan tersebut di masa mendatang. Bersamaan dengan meningkatnya dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan nasional dan internasional tersebut, timbul tantangan yang memerlukan adanya pengaturan yang lebih lugas untuk memberikan kekuatan dan dasar hokum yang lebih kukuh terhadap kegiatan penyelenggaraan pariwisata di masa-masa mendatang” Demikianlah yang dikemukakan oleh Bapak Soesilo Soedarman.
Agar undang-undang yang akan dibuat dapat diserap oleh masyarakat Indonesia, bahan-bahan yang terkumpul ditangan pemerintah diperkaya dengan menyerap aspirasi yang timbul di masyarakat. Diadakanlah pertemuan dan diskusi berbagai pihak lain baik para cendekiawan dan para ahli di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Di samping itu juga dengan masyarakat pengusaha seperti Asita, PHRI, Inaca, Putri, Gahawisri dan lain-lain sebagai pihak yang menangani kepariwisataan langsung di lapangan sesuai dengan bidang masing-masing. Pemerintah dalam hal ini Departemen Parpostel (pada waktu itu) menyadari bahwa penyelenggaraan kepariwisataan memerlukan dukungan dari sektor-sektor lain. Masalah lintas sektoral inipun menjadi salah satu pusat perhatian dalam menyiapkan naskah RUU, sehingga diambil langkah-langkah untuk mensinkronkan persepsi melalui rapat-rapat Inter-Departemen yang membahas aspek-aspek yang terkait antara Depparpostel dengan Depdagri, Kehakiman, Hankam, Perhubungan, Pendidikan dan Kebudayaan (pada waktu itu), POLRI, Kehutanan dan Departemen Pertanian.Di samping itu juga adanya keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat RI, Lembaga Swadaya Masyarakat, Tokoh-tokoh Masyarakat dan sebagainya yang memiliki relevansi dengan pariwisata.
Tidaklah mengherankan ketika DPR-RI mengadakan dengar pendapat dengan masyarakat mendapat perhatian besar, bahkan di beberapa daerah diadakan seminar yang secara langsung menjadikan RUU kepariwisataan sebagai thema sentuhannya, yang intinya menitipkan pesan agar aspirasi masyarakat tidak diabaikan, sebaliknya dapat ditampung di dalam pembahasan RUU.
Kondisi di dalam masyarakat seperti tergambar demikian itu bukan saja menghangatkan pembicaraan tentang RUU kepariwisataan di luar gedung DPR-RI, juga mempertajam pembahasan di dalam sidang-sidang pleno, Pansus dan Panja antara pemerintah dengan DPR-RI.
Hal yang bukan saja mempertajam pembahasan, tetapi membuat alot dan seretnya awal pembahasan adalah belum ada satupun Undang-Undang Nasional yang dapat dijadikan rujukan sebelumnya, dan belum ada istilah yang baku tentang Pariwisata, yang dapat dipakai sebagai pedoman dan titik tolak berpikir bersama.
Semua pihak, baik Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat merasa benar, merasa tepat, merasa tahu apa itu Pariwisata, tetapi juga semua mengakui bahwa pegangan dan ukurannya masing-masing berbeda. Justru disinilah letaknya kesempatan bagi semua yang terlibat dalam pembahasan untuk menemukan sesuatu yang baru, yang kemudian ternyata menjadi kunci pembuka untuk pembahasan-pembahasan selanjutnya. Situasi demikian ibarat sebagai orang-orang yang berada dalam kegelapan diminta untuk memberikan gambaran tentang seekor gajah. Dapatlah dimengerti bahwa masing-masing akan mengatakan secara yakin tentang gajah yang besar berdasarkan versi masing-masing tetapi pada akhirnya masing-masing sadar bahwa yang dipegang dan dianggap paling benar adalah bagian-bagian dari tubuh gajah, bukan gambaran gajah yang utuh dan menyeluruh.
Kesulitan awal yang dihadapi adalah ketika membahas unsure-unsur yang menyangkut butir-butir rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan Wisata, Wisatawan, Pariwisata, Kepariwisataan, Usaha Kapariwisataan, Objek dan Daya Tarik Wisata, Kawasan Pariwisata, bahkan sempat timbul pertanyaan apakah pariwisata itu industri atau bukan, yang akhirnya disepakati sebagai usaha.
Selanjutnya pembahasan dilakukan terhadap usaha pariwisata, yang kemudian disepakati diadakan pengelompokkan kedalam :
a. Usaha jasa pariwisata (didalamnya telah termasuk usaha jasa pariwisata)
b. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata
c. Usaha sarana pariwisata
Yang terpenting lagi dalam kesempatan itu adalah pemberian kesempatan usaha kepada koperasi sebagai salah satu kekuatan ekonomi nasional.
Masalah lain yang cukup menarik adalah diterimanya prinsip bahwa semua penggolongan usaha pariwisata mempunyai kedudukan sama, yang satu tidak lebih penting dari yang lain. Konsekwensinya mempengaruhi susunan dan penempatan pasal-pasal yang ada di dalam RUU tetapi tidak mempengaruhi bab-bab yang ada. Tetapi RUU yang diajukan oleh pemerintah tetap sebagai acuan.
Yang menarik dalam pembahasan itu adalah suasana kerja dalam pembahasan sidang-sidang, yang setiap tahap selalu akrab dan mesra, tetapi tetap lugas. Sehingga pada hal-hal yang bersifat prinsipil seringkali terjadi lobby dan memakan waktu cukup lama untuk satu masalah saja. Namun kesamaan itikad antara pemerintah dan dewan-lah yang selalu menjadi kunci penyelesaian.
Pembahasan RUU itu pada awalnya dirasa sangat alot, khususnya Bab III dan Bab IV, adalah karena banyaknya referensi yang diangkat dari berbagai literature, hasil studi di Negara lain, di samping belum ada satupun undang-undang nasional sebagai hukum positif yang dapat dipakai sebagai pegangan dan landasan. Oleh karena itu perlu diketemukan pengertian-pengertian dasar yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk membahas berbagai aspek kegiatan kepariwisataan yang menyangkut aspek kebijakan, perencanaan, pengaturan, pengusahaan, pengelolaan, pembangunan objek dan daya tarik wisata, serta pengawasan dan pengendaliannya.
Satu hal lagi yang berhasil diangkat adalah keberhasilan memecahkan masalah “Dewan/Badan” yang bersifat ekstra struktural, untuk menampung aspirasi masyarakat dalam keikutsertaannya dalam kegiatan kepariwisataan. Sidang telah dengan arif dapat melihat esensi perbedaan antara wadah dan isi, sehingga dicapai kesepakatan bahwa yang utama bukanlah wadah, tetapi isi. Pandangan yang arif inilah yang berhasil menetapkan materi keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Kesempatan masyarakat bukan saja ikut serta dalam pembangunan, pengembangan dan pengelolaan, tetapi juga yang sangat prinsipil adalah pemberian kesempatan kepada rakyat setempat untuk ikut serta menjadi pemilik dalam pengusahaan kawasan pariwisata.
Satu hal yang fundamental dan perlu diangkat ke permukaan dalam kaitan ini adalah bahwa betapapun tajamnya perbedaan pendapat terjadi dalam sidang-sidang maupun dalam forum lobby, bila sudah menyentuh kepentingan nasional, maka semua pihak baik fraksi-fraksi dalam DPR-RI maupun pemerintah, dengan ikhlas mau melepaskan kepentingan golongan untuk tunduk pada kepentingan nasional yang lebih besar. Hal seperti itu sebagai pengejawantahan yang nyata penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan sekaligus praktek penyelenggaraan Negara sebagai pengeterapan demokrasi Pancasila.
Dengan demikian jelas bahwa kepariwisataan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (sekarang), akan tetapi juga lintas departemen yang secara bersama-sama turut punya peranan baik langsung maupun tidak langsung. Langsung biasanya yang bersifat pisik, seperti pengadaan dan perbaikan infra struktur, yang tidak langsung biasanya yang bersifat value, yang dampaknya akan dirasakan mungkin beberapa tahun kemudian.
Beberapa asosiasi atau Perkumpulan atau institusi lain yang terlibat langsung dengan Kepariwisataan tidak dipandang sebelah mata, karena kedua belah pihak akan memperoleh manfaat dari hasilnya dari diberlakukannya Undang-Undang tersebut.


BAB IV
PEMILIHAN WAKTU PEMBERLAKUAN
UNDANG-UNDANG NO 9 TAHUN 1999


Pada Bab IX pasal 40. Ketentuan Penutup dari Undang-Undang Kapariwisataan, dikemukakan:
“ Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
Sedangkan Undang-Undang Kepariwisataan tersebut diundangkan di Jakarta, pada tanggal 18 Oktober 1990 oleh Mentri/Sekretaris Negara pada waktu itu yaitu Murdiono dan sisyahkan pada tanggal,bulan dan tahun yang sama oleh Presiden Republik Indonesia pada waktu itu, adalah Soeharto.
Adapun Sambutan pemerintah dalam hal ini Mentri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi pada waktu ini Soesilo Soedarman dibacakan pada tanggal 27 September 1990. Hari tersebut dipilih, karena tanggal tersebut merupakan Hari Bhakti Parpostel yang setiap tahun diperingati.
Sampai saat ini undang-undang tersebut masih diberlakukan di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, sampai adanya undang-undang yang baru. Pesatnya perkembangan pariwisata di Indonesia, tampaknya pemerintah sedang merencanakan untuk menyusun Undang-Undang Kepariwisataan yang baru.
“Undang-Undang tersebut pendekatannya relative konvensional, hanya berfokus pada beberapa sector. Karena itu, tahun ini kami bersama DPR tengah membahas agar ada undang-undang pariwisata yang baru yang bisa mencakup berbagai aspek di dalam kehidupan masyarakat, baik ekonomi maupun kehidupan pariwisata nasional kita” Demikian dikemukakan oleh DR Sapta Nirwandar yang pada waktu itu menjabat sebagai Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Langkah pertama adalah mengumpulkan berbagai masukan dari para stake holder
Aspirasi masyarakat merupakan unsure penting sebagai masukan dalam penyusunan undang-undang yang akan dating, Sebab undang-undang tersebut harus memiliki nilai strategis dan bisa dilaksanakan, serta dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan pemerintah. Setelah itu langkah sosialisasi, agar masyarakat tahu. Juga agar masyarakat menjadikan undang-unang itu sebagai pedoman dalam berbagai dimensi pariwisata, apakah dalam bentuk usaha, peningkatan destinasi atau peningkatan infra strutur dan sebagainya.
“Undang-Undang Pariwisata yang baru memang belum terbentuk, namun berarti pemerintah berdiam diri, setiap tahun ada yang namanya Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang menjadi tolok ukur atau pedoman untuk melakukan perencanaan kerja” ungkap Sapta Nirwandar selanjutnya.
RKP tersebut telah melalui jalan panjang sebelum pada akhirnya menjadi Keppre. Selain dibahas dengan DPR untuk mendapat masukan, Depbudpar telah mendiskusikan pula dengan Departemen lain, serta dengan dunia usaha yang terkait dengan bidang pariwisata. Dari sinilah kemudian Depbudpar merancang strategi guna menggalakkan pariwisata Indonesia. Berbagai inovasipun diluncurkan, seperti wisata bahari dan wisata ziarah yang merupakan pekerjaan rintisan Depbudar.


BAB V -KESIMPULAN


“Bagaikan jalan di hutan tanpa kompas”, demikianlah perjalanan kepariwisataan sebelum dikumandangkan Undang-Undang kepariwisataan. Walaupun perkembangan kepariwisataan tidak diragukan lagi.
Tuntutan pemerintah dan masyarakat, serta desakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah tidak terbendung lagi. Akhirnya pada tanggal 18 Oktober 1990, tidak sampai sebulan dari pemerintah (DEPPARPOSTEL) berpidato di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, Mentri Sekretaris Negara dengan disetujui Presiden pada waktu itu menyetujui dan menyatakan undang-udang tersebut diundangkan.
Melalui pariwisata, Negara memperoleh devisa yang cukup tinggi di samping pajak, dan ini menjadikan pariwisata sebagai sector unggulan diluar non migas, Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja berdampak positif bagi kemajuan pariwisata yang sudah ada di bidang ekonomi, social, budaya dan politik, akan tetapi juga telah mampu menciptakan kawasan pariwisata baru. Terobosan seperti itu adalah suatu strategi pengembangan untuk mengimbangi daya saing Negara yang sudah lebih dahulu mengalami kemajuan.
Dengan telah adanya Undang-Undang Pariwisata, walaupun dapat dikatakan berumur cukup tua, pemerintah bersama-sama dengan stake holder dan masyarakat dapat melangkah dengan pasti menyelenggarakan berbagai kegiatan kepariwisataan nasional, karena punya dasar berpijak lebih kukuh, landasan bergeraknya lebih kuat, batas kewenangannya menjadi lebih jelas, pengelompokkan usahapun menjadi tegas, serta keikutsertaan masyarakat mendapat tempat secara proporsional.
Yang paling penting dalam undang-undang kepariwisataan adalah penataan organisasi, manajemen, administrasi, pembinaan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya yang dapat berpengaruh pada system pelayanan masyarakat. Pada era sekarang ini bukan lagi pembinaan sumberdaya, tapi sudah waktunya menjadi pemberdayaan sumberdaya yang tersedia. Untuk itulah maka pemerintah sudah merencanakan pembuatan undang-undang baru yang lebih efektif dan efisien.

RINGKASAN EKONOMI POLITIK

TEORI – TEORI EKONOMI

By : Nyoman Rudana, SE- Mahasiswa pasca sarjana STIA LAN Jakarta program studi Manajemen Pembangunan Daerah - 2008


1. TEORI KLASIK ADAM SMITH

Termasuk teori ekonomi pembangunan.
Pembangunan ekonomi sebagai prose pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan memanfaatkan meknisme pasar.
Syarat pertumbuhan ekonomi : investasi dan spesialisasi yang dikontrol melalui mekanisme pasar.
Campur tangan pemerintah : minimal ( the minimal government is the best government ), dengan mengupayakan agar mekanisme pasar berjalan baik.
Ada 3 unsur utama proses pertumbuhan hasil produksi :
1. SDM : pertambahan jumlah penduduk
2. Pertambahan persediaan barang modal ( akumulasi modal ) karena tabungan masyarakat diinvestasikan oleh pemilik modal dengan harapan memperoleh keuntungan
3. Spesialisasi dan pembagian kerja disertai perluasan pasar dan perkembangan perdagangan baik perdagangan dalam negeri maunpun internasional.

Jumlah penduduk > à pasar > à tingakt spesialisasi dan pembagian kerja > à teknologi inovasi > -à produktivitas > à ekonomi > à Pendapatan nasional >
( catatan : > : meningkat )


2. TEORI NEO KLASIK DAVID RICARDO


Comparative Advantage

Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) merupakan teori yang dikemukakan oleh David Ricardo. Menurutnya, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia sama-sama memproduksi kopi dan timah. Indonesia mampu memproduksi kopi secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi timah secara efisien dan murah. Sebaliknya, Malaysia mampu dalam memproduksi timah secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi kopi secara efisien dan murah. Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi kopi dan Malaysia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi timah. Perdagangan akan saling menguntungkan jika kedua negara bersedia bertukar kopi dan timah.
Dalam teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan standar kehidupan dan pendapatannya jika negara tersebut melakukan spesialisasi produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi.

3. TEORI HARROD DOMAR ( CAPITAL OUTPUT TEORI )

Melihat pentingnya investasi dalam tdh pertumbuhan ekononomi, karena investasi meningkatkan barang modal. Yang memungkinkan peningkatan output.


5 TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI

1. THE LINEAR STAGES THEORY :

a. TAHAP – TAHAP PERTUMBUHAN – KARL MAX

+ Perbudakan
+ Feodalisme
+ Kapitalisme
+ Sosialisme
+ komunisme

Proses Kemajuan ekonomi sebagai proses evolusi sosial.
Faktor pendinamis perkembangan ekonomi adalah teknologi.
Awalnya tekonologi dikuasai oleh kaum borjuis – kapitalis ( KAPITALISME ) à penambahan stok barang modal untuk maksimalisasi keuntungan dengan PERBUDAKAN ( ekspolitasi buruh ) à ada FEODALISME à jangka panjang : pasar melemah karena pertambahan stok barang modal tidak diiringi hasil yang memadai.

à Lama – lama buruh berontak à barang modal jadi milik bersama à ZAMAN SOSIALISME -à dilanjutkan dengan zaman KOMUNISME dengan ciri tidak ada pemerintahan. Manusia bekerja bukan sekedar cari makan tapi untuk ekspresi diri.

Teori evolusioner ini diubah oleh kaum komunis Rusia jadi teori Revolusioner :
1. Merebut kekuasaan dengan kekerasan dari tangan Tsar Rusia
2. membentuk monopoli politik dg mendirikan partai mayorita stangguh
3. Monopoli kekuatan militer
4. mempercepat kemajuan ekonomi dnegan menggunakan mekanisme non pasar ( perencanaan terpusat ).

b. TAHAP – TAHAP PERTUMBUHAN EKONOMI DARI ROSTOW

Melihat pembangunan ekonomi sebagai proses perubahan yang bersifat garis lurus dan bertahap. à lihat fotocopy

Ciri – ciri :
a. Tahap Masyarakat tradisional
b. Prakondisi untuk Take off
c. Era Take off
d. Tahap Menuju Kedewasaan
e. High Mass Consumption

2. Structtural Change Model à dikembangkan dari Teoir Arthur Lewis TWO SECTOR MODELS : sektor modern dan sektor tenaga ekrja yang kelebihan tenaga kerja.
Lihat grafik Demand supply di fotocopyan


3. The International Dependency Theory


4. The Neo Classical Counter Revolution


Disebut Pendekatan yang bersahabat dengan pasar ( Market Friendly Approach ).
Pengembangan kembali ide awal teori Neo Klasik untuk diterapkan dalam pengembangan ekonomi dunia ketiga.
Mengakui kemungkinan terjadinya kegagalan pasar bila teori Neo Klasik diterapkan sepenuhnya di dunia ketiga. -=-> setuju intervensi pemerintah.
Berpendapat bahwa campur tangan pemerintah yang terbaik adalah minimal ( idem Adam Smith ) , namun pemerintah diharapkan memfasilitasi agar mekanisme pasar optimal. Misal : investasi sarana fisik spt jalan raya, pelabuhan, dan sosial ( keshatan, pendidikan ).

5. The New Growth Theory

Proses pertumbuhan ekonomi bukan sebagai fenomena jangka pendek yang didorong semata – mata oleh penggunaan modal seperti dikatakan oleh teori pertumbuhan klasik. Pertumbuhan sebagai bagian tak terpisahkan dari system pengelolaan proses produksi ( endogenous growth ).


GLOBALISASI

Merupakan proses bukan tujuan dan bukan system
Globalisasi bukan privatisasi dan bukan deregulasi
Globalisasi didirong oleh inovasi teknologi yang cepat, ekspansi pasar dunia dan liberalisasi perdagangan dan aliran modal. Globalisasi bukan ekspansionisme, bukan merupakan perpanjangan tangan dari kolonisasi atau era industrial Timbulnya pasar bebas menimbulkan perubahan paradigma dari era industrial ke era informasi.
Globalisasi menyebabkan terwujudnya perubahan kondisi menjadi lebih mudah, lebih cepat, lebih bervariasi, interelasi dan migrasi :
+ perubahan nilai ukuran kekayaan / kemakmuran : pada era pertanian ( 1700 – 1750 ): kepemilikan lahan, pada era industri : akumulasi modal, pada era informasi, penguasaan dan kemampuan memanfaatkan informasi.
+ Kenisbian batas negara
+ Mempermudah komunikasi : internet
+ Investasi lintas batas negara à pesawat terbang
+ Perlipatgandaan jumlah dan mutu produksi
+ Mempermudah gerak
+ Memperdekat jarak
+ Migrasi / asimilasi

Munculnya Ekonomi Global

a. Integrasi Pasar Internasional


Dalam ekononomi global, kebijakan ekonomi domestik harus mencerminkan realitas global. Konsekuensinya, pemerintah harus mengembangkan kebijakan yang menghasilkan insentif ekonomi dan financial global. Pemerintah dan kalangan bisnis bersama – sama membentuk aliansi internasional yang menghasilkan manfaat ekonomi secara timbal balik. Dampaknya : krisis keuangan 1997-1998.

b. Agenda Liberalisasi

+ Liberalisasi perdagangan dan Liberalisasi Pasar Modal


Ada dua komponen yang berkaitan, yaitu liberalisasi perdagangan dan liberalisasi pasar modal. Liberalisasi perdagangan menciptakan terbentuknya irama perdagangan yang teratur dan terkendali karena barang yang diperdagangkan dapat mudah dikenali dan diperdagangkan. Namun liberalisasi pasar modal dianggap sebagai sesuatu yang problematic oleh ASEAN dan APEC terutama pasca krisis keuangan. Hal itu mengingat aliran dana lintas negara sebagian bsar tidak terdeteksi, dan dengan adanya e – commerce, pasar keuangan makin sulit diawasi oleh pemerintah.

Dengan menyadari betapa dahsyatnya pergerakan pasar modal global, Negara ASEAN dan APEC perlu membuat pembedaan antara liberalisasi perdagangan dan liberalisasi pasar modal. Namun sulit memisahkan liberalisasi perdagangan dari isu makro ekonomi. Tujuan program liberalisasi adalah menciptakan ekonomi pasar yang efisien dan disinilah peran APEC dan ASEAN di tingkat regional.


d. Konsep GII ( Global Information Infrastructure ) dan GIS ( Global Information Society )

+ GII ( Global Information Infrastructure )

Teknologi internet, e commerce, telepon genggam, satelit penurunan biaya telekomunikasi membuat pelayanan jasa menjadi lebih terjangkau dan makin mudah diakses di Negara berkembang.

E Commerce

Dengan e commerce terjadi pergeseran dimana pasar akan lebih responsife terhadap permintaan konsumen, yaitu dari supply side marketing menuju ke demand side marketing. Juga e commerce memperpendek rantai produksi dan distribusi, peningkatan belanja virtual melalui internet, serta penurunan biaya untuk masuk ke pasar bagi industri kecil dan menengah.


+ GIS ( Global Information Society )
1. Produksi yang bersifat customized dan semi customized dan hubungan antara pelanggan – pekerja dan klien akan membutuhkan perhatian yang lebih personal.
2. Pekerja manual dan kerah putih kantoran menuju ke pekerjaan berdasarkan pengetahuan ( knowledge based workers ). Pergeseran dari bekerja di kantor menjadi bekerja di luar kantor / rumah.
3. Munculnya GIS juga dapat dilihat nyata dari industri komunikasi, dimana orang mempunyai pergi nonton film ke bioskop, atau menontonnya melalui DVD, atau internet. Juga dalam berkomunikasi ada telepon, telepon genggam, internet, net phone, fax, videokonferensi.

Senin, 02 Februari 2009

BALI DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH DAN PERAN DPD BALI DALAM MEMPERKUAT KEBERHASILAN OTONOMI DAERAH

Oleh : Nyoman Rudana - Mahasiswa pasca sarjana STIA LAN Jakarta program studi Manajemen Pembangunan Daerah - 2008
I. LATAR BELAKANG MASALAH

I.1. Bali dan permasalahnnya.

Sebagai sebuah pulau di antara 13,677 pulau di Indoensia , Bali terbilang kecil. Luas Pulau Bali hanya 5.632,86 km atau hanya seluas 0,29% dari luas keseluruhan INKRI. Namun sebagai sebuah propinsi di antar 30 propinsi di Indonesia, tidak dipungkiri bahwa Bali mempunyai banyak kekhususan yang tidak ada di propinsi lain di Indonesia. Kekhususan tsb nampak dari keadaan alamnya, agama Hindu Bali, seni budayanya serta sistem sosial / adat istiadatnya ( desa pakraman, sistem pengairan yang dikenal dengan subak dll ). Kekhususan tsb telah mengantar Bali menjadi salah satu icon budaya dunia dan masuk ke alam World Cultural Heritage.

Jumlah penduduk pada tahun 2000 sebanyak 3.146.999 jiwa dengan kepadatan 558jiwa/ Km2 dan pertumbuhan penduduk rata-rata mencapai 1,26% per tahun dalam periode Tahun 1990-2000. Secara administrative Provinsi Bali dibagi menjadi 8 Kabupaten dan 1 Kota, 55 Kecamatan, 678 Desa/Kelurahan, 1.404 Desa Pakraman tahun 2002. Dengan adanya otonomi daerah, sesuai dengan UU no 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang disempurnakan dengan Undang – Undang no 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, maka titik berat kewenangan otonomi diberikan pada level kabupaten / kota dengan harapan lebih mudah mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan rakyat. Bagi Bali, keadaan ini kurang menguntungkan, karea dengan wilayah pulau yang kecil, kini terkesan seperti terpecah menjadi 9 kabupaten / kota yang masing – masing seolah – olah berdiri sendiri. Hal ini menimbulkan persoalan dengan timbulnya ketidak-jelasan hubungan antara Pemerintah Pusat – Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota. Hal ini menyebabkan tidak adanya konsultasi dan koordinasi yang jelas antara ketiga pihak tsb. Selain itu UU ini mengesankan bahwa karakteristik daerah tidak diperhatikan. Daerah dengan sumber daya alam dan manusia yang terbatas diperlakukan sama dengan daerah yang kaya sumber dayanya.

Kemudian keindahan alam Bali yang yang menjadikan Bali sebagai icon pariwisata Indonesia telah mengundang investor dari luar Bali baik lokal maupun investor asing, untuk berinvestasi di Bali, dengan maraknya pembangunan sara dan prasarana penunjang pariwisata. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung, telah menyebabkan menipisnya penghargaan terhadap local genius yang selama ini dikenal sebagai keunikan Bali. Ketidakmengertian dari para investor akan unsur suci dan kacuntakan dari tanah – tanah adat, adanya proyek – proyek dari pusat serta desakan ekonomi dari warga setempat, telah menyebabkan pemindahtanganan serta alih fungsi tanah di Bali. Dalam jangka panjang, hal ini akan membahayakan dan membuat Bali kehilangan akarnya, dan Bali akan menjadi sebuah lokasi wisata yang kehilangan nyawa budayanya.

Selain itu pembangunan di Bali yang cenderung menitik beratkan pada faktor fisik di sentra – sentra pariwisata menyebabkan daerah yang kurang potensi pariwisatanya menjadi tertinggal, dimana hal ini ditandai dengan perbedaan PAD yang besar di maisng – maisng kabupaten, dengan kabupaten Badung yang merupakan sentra pariwisata dengan PAD terbesar ( Rp. 388.582.725.448,11 ) dan kabupaten Bangli dengan PAD terkecil ( 7.692.953.476,66 ) berdasarkan data dari Biro Keuangan Propinsi Bali 2006. Hal ini menyebabkan makin tidak meratanya pertumbuhan ekonomi di Bali.

Selain itu, pembangunan yang difokuskan pada saran fisik cenderung tidak mempedulikan faktor pelestarian lingkungan, seperti halnya proyek Geothermal Bedugul, sedangkan isu perubahan iklim merupakan ancaman bagi Bali, terbukti dengan makin seringnya terjadi banjir, badai dan bencana alam lain di Bali akhir – akhir ini.

Pasal 11 Undang Undang no 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyatakan bahwa bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah pada sektor pajak dan sumber daya alam. Sebagaimana diketahui, Bali tidak memiliki sumber daya alam yang potensial seperti Aceh, Riau, Kaltim, Papua dan lain – lain. Namun Bali memiliki sumber daya jasa dari sektor pariwisata sebagai produk unggulan adat dan budaya Bali.

Adat dan budaya Bali yang dilandasi falsafah Tri Hita Karana merupakan seperangkat nilai yang dijadikan dasar bagi pengembangan dan pelestarian pariwisata budaya Bali. Selain itu dengan luas wilayah yang hanya 0,29% dari luas NKRI, Bali merupakan penyumbang 30% devisa negara dari sektor pariwisata, atau sebesar Rp. 32 triliun pertahun, dimana hal ini sangat signifikan untuk mengakselerasi perekonomian nasional.

Sebenarnya masih banyak permasalahan di Bali yang dapat diangkat, termasuk masalah keamanan, pendidikan dasar yang belum merata, pelayanan kesehatan yang belum memadai, dll, namun untuk makalah kali ini permasalahan dibatasi pada hal – hal tsb di atas.

1.2. PERAN DPD BALI dalam Memperjuangkan Otonomi Daerah Bali

DPD –RI merupakan lembaga perwakilan baru dalam ketatanegaraan Indonesia yang dibentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan tanggal 9 Nopember 2001. Gagasan dasar pembentukan DPD-RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberikan peran yang lebih besar dari daerah dalam proses pengambilan keputusan politik di tingkat nasional. Berbeda dengan DPR, maka DPD RI merupakan :
1. lembaga perwakilan daerah non partai.
2. anggotanya dipilih melalui pemilu secara perseorangan.
3. tiap propinsi terdiri dari 4 orang tanpa mempedulikan jumlah penduduk di propinsi tsb.
4. jumlah anggota untuk periode I masa tugas 2004 – 2009 adalah 128 orang dari 32 propinsi, dimana propinsi Sulawesi Barat sebagai propinsi baru belum terwakili.

Sejalan dengan otonomi daerah, maka DPD mempunyai peran penting dalam memperjuangkan aspirasi daerah melalui fungsi, tugas dan wewenangnya yaitu fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan, sebagai check and balance terhadap keberadaan DPR. Namun pada kenyataannya dalam peran DPD RI yang meliputi ketiga fungsi tsb sangat terbatas dan sesuai UU no 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, disebutkan bahwa :
1. Fungsi Legislasi ( pasal 43 ) :
Dapat mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahas RUU tertentu yang meliputi RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Namun peran DPD dibatasi hanya sampai pembicaraan tingkat I sesuai tata tertib MPR.

2. Fungsi Pertimbangan ( pasal 44, 45 ) :
Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama serta pemilihan anggota BPK. Namun peran ini hanya dibatasi dalam bentuk pertimbangan tertulis sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan pemerintah.

3. Fungsi Pengawasan ( pasal 46 ) :
Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti, meliputi pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama serta menerima dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK. Dalam fungsi pengawasan DPD hanya menyampaikan hasilnya sebagai bahan pertimbangan untuk DPR agar ditindaklanjuti namunn tidak jelas bagaimana kriteria hasil pengawasan sb sudah ditindaklanjuti atau belum.

Jadi jelas dalam memperjuangkan aspirasi rakyat di daerahnya, sebagai wakil rakyat yang dipilih langsung oleh daerah, kewenangan DPD-RI sangat terbatas. Namun pembahasan makalah ini dibatasi kepada potret daerah Bali dan permasalahannya serta bagaimana DPD Bali dapat berperan untuk memperbaiki permasalahan yang ada, sekaligus terbatas. Pembahasan tidak diperluass dengan membahas keterbatasan fungsi DPD serta upaya penguatan fungsinya.

II. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Otonomi daerah yang sekarang berlaku memberikan kewenangan besar di tingkat
kabupaten / kota dimana untuk Bali hal ini menyebabkan terkotak – kotaknya masing – masing kabupaten / kota dan menyebabkan kurangnya fungsi koordinasi gubernur dengan bupati.
2. Pembangunan di Bali yang dititik beratkan kepada pembangunan fisik di sektor pendukung pariwisata menyebabkan berkurangnya penghargaan terhadap local genius misalnya dengan makin ntergusurnya tanah – tanah adat yang dianggap sakral menjadi bangunan komersial.
3. Pesatnya pembangunan di Bali yang di titik beratkan pada industri pariwisata menyebabkan tidak meratanya pembangunan ekonomi di Bali dimana daerah yang tidak termasuk daerah tujuan wisata menjadi kurang diperhatikan.
4. Perlunya pembangunan fisik dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
5. Perlunya Bali mendapat dana kompensasi atau fund sharing yang ditujukan untuk dana reinvestasi, pemeliharaan, renovasi serta pelestarian sarana prasarana , sistem, nilai adat dan budaya Bali..
6. Peran DPD Bali sebagai wakil rakyat Bali, yang memperjuangkan berbagai kebijakan yang menyangkut otonomi daerah Bali di tingkat pusat, sesuai dengan yang tertera pada UU D pasal 22D masih jauh dari memadai karena keterbatasan wewenangnya .


III. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana memperbaiki pelaksanaan otonomi daerah agar koordinasi antara pemerintah propinsi dan kabupaten serta antar kabupaten dapat berjalan lebih baik, termasuk revisi terhadap UU no 32/2004.
2. Bagaimana melaksanakan pembangunan dengan lebih memperhatikan dan tetap menghormati nilai – nilai budaya Bali, sehingga pembangunan yang berlangsung tidak kehilangan akar budayanya.
3. Bagaimana melakukan pemerataan pembangunan di Bali terutama di daerah yang tidak merupakan unggulan wisata.
4. Bagaimana melaksanakan pembangunan fisik dengan tetap memperhatikan pelestarian lingkungan, dengan memperhatikan ancaman pemanasan global.
5. Bagaimana Bali bisa mendapatkan fund sharing dari pemerintah pusat sebagai kompensasi atas kontribusinya sebagai penghasill 30% devisa negara yang nantinya dipergunakan sebagai dana reinvestasi dan pemeliharaan sarana prasarana dan aset budaya Bali.
6. Bagaimana DPD Bali sebagai perwakilan rakyat Bali dapat memperjuangkan aspirasi rakyat di tingkat pusat untuk hal – hal yang terkait langsung dengan pelaksanaan otonomi daerah, termasuk dengan mendorong perubahan UU no 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dan UUD 45 pasal 22D menyangkut fungsi, tugas dan wewenang DPD-RI.

IV. PEMBAHASAN

1. Pelaksanaan Otonomi Daerah Bali

Pelaksanaan otonomi daerah yang mengacu kepada UU no 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diganti dengan UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pelaksanaannya sudah belum sesuai dengan harapan walau sudah tujuh tahun berjalan. Kewenangan daerah yang besar, dengan titik berat di kabupupaten /kota telah mengakibatkan disharmonisasi dengan poemerintah propinsi karena peran gubernur sebagai perpanjangan tangan pemeritah pusat di daerah menjadi mandul. Koordinasi antara pemerintah propinsi dan kabupaten/ kota tidak berjalan baik padahal praktek otonomi daerah seperti yang dimaksudkan dalam UU tidak hanya mengurusi persoalan birokrasi namun yng terpenting adalah pelayanan publik. Selain itu pemerintah di tingkat kabupaten dapat menciptakan aturan tersendri berkenaan dengan daerahnya, misalnya kenaikan tunjangan PNS yang diambil dari PAD, namun tambahan tunjangan tsb belum tentu ditandai dengan dengan peningkatan mutu pelayanan publik dan pemberdayaan ekonomi. Dan dalam hal demikian, siapa yang melakukan check and balances bila pemerintah propinsi kurang kewenangannya. Juga dengan otonomi daerah dimana otonomi diinterpretasikan sebagai kebebasan menentukan nasib daerahnya sendiri, makin marak pula praktek korupsi dengan timbulnya raja – raja kecil di daerah. Tentunya tidak semua dari pelaksanaaan otonomi daerah ini jelek. Contoh yang baik dapat dilihat pada kabupaten Jembrana di bawah pmpinan Prof. drg. Winasa sebagai bupati. Dengan menyadari bahwa daerahnya bukan sentra pariwisata, dengan PAD yang relatif kecil dibandingkann daerah lain ( Rp. 9, 9 milyar di tahun 2006 ), bupati jembrana menerapkan terobosan yang kreatif, dengan membebaskan iuran wajib di sekolah negeri di semua tingkatan, pemberian bea siswa kepada siswa tidak mampu, pelayanan kesehatan gratis melalui Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), serta pelayanan publik dalam satu atap, pelayanan KTP gratis dll. Juga dilakukan berbagai program inovasi seperti kartu J-Sidik dimana dengan satu kartu yang terintegrasi dengan rekam medik di komputer, masyarakat dapat menggunakannya untuk mendapatkan pelayanan gratis melalui JKJ, berobat di rumahs akit serta berlaku sebagai kartu askes. Hal – hal inovatif demikianlah yang seharusnya juga dikoordinasi oleh pemerintah propinsi agar menjadi suatu pembelajaran bagi kabupaten lain serta propinsi lain di Indonesia.

Kabupaten / kota yang terkotak – kotak pada skala mikro juga menyebabkan tercerai berainya sistem subak, yang sebelumnya terintegrasi tanpa mempedulikan batas wilayah. Pembagian air yang tidak memadai di satu wilayah karena misalnya pembangunan jembatan / waduk di suatu kabupaten, telah menyebabkan terganggunya sistem subak di wilayah yang lain yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan panen. Sistem subak sebagai wariusan budaya Bali harus dipelihara dan jangan sampai praktek otonomi daerah merusak subsistem masyarakat yang sudah berjalan berabad – abad.

Oleh sebab itu perlu dipikirkan kembali, untuk merevisi pelaksanaaan otonomi daerah di Bali dengan pelaksanaan otonomi di level propinsi seperti di daerah yang bersifat otonomi khusus, seeprti DIY, NAD, Papua atau DKI. Oleh sebab itu, DPD-Bali sebagai mendukung amandemen UU no 32 / 2004 demi terciptanya iklim otonomi daerah Bali yang lebih kondusif.

2. Pembangunan fisik daerah Bali dengan mengacu pada nilai budaya.

Pembangunan di Bali yang sekarang ini lebh dititikberatkan kepada pembangunan fisik semata untuk mendorong industri pariwisata telah banyak mengabaikan local genius ( kearifan lokal ) yang ada. Lahan – lahan yang semula meurpakan tanah adat, banyak dialihfungsikan atau dipindahtangankan dan dijual untuk mendukung proyek – proyek pariwisata atau proyek besar lain. Ada unsur desakan ekonomi dari masyarakat Bali yang menyebabkan mereka merelakan tanah – tanah adat untuk dijual. Peran pemerintah daerah yang memberi ijin kepada investor untuk menggunakan tanah tsb turut memperparah kondisi tsb. Setidaknya pembanguan fisik haruslah tetap pro lingkungan, terlebih karena Bali termasuk daerah yang juga rawan terhadap ancaman isu pemanasan global. Kassu pembangunan geothermal Bedugul adalah satu contoh yang perlu dicermati.

3. Pemerataan pembangunan ekonomi di Bali

Pembangunan di Bali haruslah mengacu kepada pemerataan ekonomi bagi masyarakatnya. Gegap gempita pariwisata tidak sepenuhnya dirasakan oleh segenap masyarakatnya, dimana menurut Badan Pusat Statistik ( BPS ) berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (susenas) panel modul konsumsi Maret 2007, jumlah penduduk miskin di Bali mencapai 229.000, dari 3,4 juta penduduk atau sekitar 6,7%. Penduduk miskin juga dipengaruhi dengan indikator warga yang masih buta aksara. Hingga akhir 2006, tidak kurang dari 70.000 warga mengalami buta aksara menurut BPS. Oleh sebab itu, pendidikan dasar dan akses kepada pelayanan kesehatan harus menjadi prioritas pemerintah daerah. Pendidikan adalah jalan utama untuk dapat keluar dari kemiskinan. Oleh sebab tu contoh kabupaten jembrana dengan pendidikan gratis dan pelayanan kesehatan yang bersubsidi merupakan contoh konkrit dari upaya kepala daerah memerangi kemiskinan di daerahnya. Selain itu tiap wilayah kabupaten / kota haruslah melihat potensi unggulan di daerahnya selain dari pariwisata termasuk pengembangan sentra pertanian, dimana di masa mendatang, ecotourism akan menjadi icon pariwisata yang baru. Rice terrace di Taanan yang masuk menjadi World Cultural heritage adalah contohnya. Lahan pertanian yang didukung dengan sistem subak, harus tetap menjadi icon bagi Bali di samping menjadi sarana utama swasembada pangan bagi masyarakatnya.

4. Pembangunan di Bali yang berwawasan lingkungan

Pembangunan fisik di Bali harus dititiberatkan pada pembangunan yang berwawasan lingkungan mengingat bahwa alam Balilah yang menjadi daya tarik wisawatan. Dwifungsi lahan pertanian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pangan dan sarana ekoturisme, pelestarian taman nasional seperti di Bali Barat adalah contoh yang baik, dimana keseimbangan ekosistem dijaga. Demikian juga dengan pelestarian laut yang sering kurang diperhatikan dengan maraknya wiusata bahari di Bali. Dilakukannya Konvensi Perubahan Iklim Sedunia ( UNCCC atau United Nations Convention of Climate Change ) di Bali tanggal 3 – 14 Desember 2007 yang ditutup dengan Bali Road Map merupakan wujud nyata bahwa dunia mengakui keberadaan Bali sebagai contoh wilayah yang dianggap masih mampu memptahankan kelestarian alamnya. Hal ini harus menjadi komitmen bagi pemerintah daerah untuk terus membangun daerahnya dengan memperhatikan pelestarian alam, sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana, yang mngandung arti harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya serta dengan alam sekitarnya. Untuk itu pemerintah daerah dapat menjalin hubungan kerjasama dengan badan lingkungan asing / dunia termasuk Unesco.

5. Dana kompensasi untuk Bali

Sebagai kontributor 30% devisa negara, sudah sepantasnya Bali jua mendapatkan dana bagi hasil dari pemerintah pusat sebagai dana untuk reinvestasi bagi reinvestasi, pemeliharaan, renovasi serta pelestarian sarana prasarana , sistem, nilai adat dan budaya Bali. Untuk itu harus ada perangkat Undang – undang selain dari Undang Undang no 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.

Pembahasan mengenai DPD Bali akan disampaikan pada bab Saran

V. SARAN DAN REKOMENDASI

Dalam kaitannya dengan peran DPD Bali, DPD Bali menyarankan dan mengupayakan beberapa hal terkait dengan permasalahn yang ada di Bali sepertin yang sudah diuraikan di atas.
1. Mendorong revisi UU n 32 tahun 2004, dengan titik berat otonomi di tingkat propinsi, agar koordinasi antara pemerintah propinsi dan daerah dapat lebih terkoordinir dan mengurangi pengkotak – kotakan wilayah di kabupaten/ kota yang memberi dampak tidak hanya kepada sistem pemerintahan daerah melainkan juga ke dalam subsistem masyarakat adatnya.
2. Bersama – sama dengan pemerintah daerah mendorong pembangunan Bali berwawasan Budaya.
3. Bersama – sama dengan pemerintah daerah, terus melobi pemerintah pusat agar dapat merumuskan fund sharing bagi reinvestasi dan pelestarian sarana, prasarana serta nilai budaya Bali.
4. Dengan akses yang dimilikinya, DPD Bali melalui Ketua DPD dapat mengundang pejabat pusat untuk berkunjung ke Bali untuk meninjau hal – hal yang erat berkaitan dengan kejadian yang menimpa masyarakatnya, misalnya terkait proyek perusakan lingkungan, bencana alam atau wabah penyakit, dan meminta solusi yang sifatnya rescue / darurat sambil memperjuangkan solusi yang lebih mengarah kepada kebijakan jangka panjang.
5. Pembentukan Kelompok Lingkungan yang baru dilakukann di DPD sebagai hasil dari keikutsertaan DPD Bali dalam Knvensi Perubahan Iklim di Bali 3 – 14 Desember 2007 yang langsung dilanjutkan dengan E Parliament Hearing tgl 14 – 15 Desember 2007 mengenai Energi Terbarukan merupakan upaya positif dalam rangka membantu pemerintah daerah untuk bekerjasama dengan lembaga donor serta parlemen asing untuk merealisasikan proyek – proyek kerjasama yang mengarah kepada pelestarian lingkungan.

VI. PENUTUP

Pembangunan Bali harus dikembalikan kepada pembangunan manusia seutuhnya ( holistik ) tanpa meninggalkan akar budayanya. Untuk itu diperlukan peran semua pihak baik pemangku keputusan di pusat, di tingkat propinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota, dengan mengikutsertakan masyarakat sebagai subyek pembangunannya. DPD Bali yang merupakan wakil dari daerah Bali harus ikut memperjuangkan aspirasi daerahnya di tingkat pusat sesuai fungsi dan tugas kewenangannya.

VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Undang Undang no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Undang Undang no 29 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
3. Undang Undang no 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
4. STIA LAN dan Badan Pengawas keuangan dan Pembangunan, Maret 2000, Perencanaan Strategik Instansi Pemerintah
5. Panitia Khusus Otonomi Khusus, DPRD Propinsi Bali, tahun 2007, Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang Otonomi Khusus Propinsi Bali
6. I Gede Ardika, Pokok Pikiran Talenta Otonomi Khusus Bali dalam Perspektif Kebudayaan dan Pariwisata, dipresentasikan di TMII 1 Juni 2007 dalam Seminar Menuju Otonomi Khusus Bali.
7. DR. Made Suwandi, Msoc,Sc, Direktur Urusan pemerintahan Daerah, Ditken Otda, Depdagri, Tantangan dan Peluang Kemungkinan Otonomi Khusus Bali. dipresentasikan di TMII 1 Juni 2007 dalam Seminar Menuju Otonomi Khusus Bali.
8. Kelompok DPD di MPR RI, 2006, Untuk Apa DPD RI.
9. Mardiasmo, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th ke I no 4, Juni 2002, Otonomi Daerah sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah.
10. I Wayan Sudirta,2008, Saatnya Merubah UU Pemda.





.

MASYARAKAT YANG TERORGANISIR : KEWARGANEGARAAN, INTEREST GROUPS DAN PARTISIPASI WARGANEGARA

BUKU : WHO GOVERNS ? THE INDIVIDUAL ( ACTOR ) LEVEL

Diringkas oleh : Nyoman Rudana, mahasiswa pasca sarjana STIA LAN Jakarta program studi Manajemen Pembangunan Daerah 2008


BAB 14 : ORGANIZED SOCIETY : CITIZENSHIP, INTEREST GROUPS, AND CITIZEN PARTICIPATION.

MASYARAKAT YANG TERORGANISIR : KEWARGANEGARAAN, INTEREST GROUPS DAN PARTISIPASI WARGANEGARA


John O Sullivan, 1837 ;
Semua pemerintah adalah jahat dan orang tua dari kejahatan. Pemerintah yang terbaik adalah yang paling sedikit memerintah.

Henry David Thoureau, 1849 :
Pemerintah yang terbaik adalah yang tidak memerintah sama sekali.

Woodrow Wilson 1892 :
Karena negara ( state ) dapat secara tidak bijaksana turut campur dalam kehidupan individual, ia harus mampu berbicara atas dirinya sendiri dan secara alamiah merupakan sesuatu yang jahat. Ia tidak lebih jahat dari masyarakatnya sendiri dan merupakan badan organik dari masyarakat.

Makna kewarganegaraan berubah secara signifikan .pada abad ke 19 dan 20. Di Eropah, awal abad 19, pemerintah mempercayai bahywa tugas intinya adalah sebagai polisi, keamanan, perpajakan, dan pertahanan wilayah à era nightwatch state . Di USA, ketidakpercayaan terhadap pemerintah sudah ada sejak awal kemerdekaannya. Setengah abad kemudian, Woodrow Wilson mengemukakan ide bahwa pemerintah dapat bertindak jahat à Organic State Theory : pemerintah adalah ekspresi dari masyarakatnya..

Sejak pertengahan abad ke 19, geografi sosial dari masyarakat berubah dan makin cepat perubahannya di abad 20. Industrialisasi, urbanisasi, pertumbuhan demografi,demokratisasi namun juga keterasingan dari habitat aslinya dan penurunan komunitas pedesaan, mempunyai dampak besar untuk hubungan antara pemerintah dengan masyarakatnya dan terhadap makna dari kewarganegaraan tsb.
Abad 20, interest group ( kelompok kepentingan ) bermunculan, dan menjadi kekuatan yang powerful dalam pembuartan pembuatan kebijakan dan keputusan. ( Skoepol, Ganz, Munson, 2000 ), contoh : serikat pekerja dan organisasi wanita.

Interest group sangat penting untuk tata penyelenggaraan pemerintahan saat ini ( contenporary governance ). Beda antara partai politik dengan interest group :

Í Bila partai politik mewakili kepentingan yang secara potensial kompetitif, maka interest groups biasanya fokus pada isu – isu tertentu.
Í Partai politik eksis untuk mengokohkan posisinya di otoritas publik, interest group lebih terprogram dalam orientasinya.
Í Interest group secara umum merupakan kekuatan politik yang powerful,dan secara formal tergabung ke dalam sistem politiuk - administrasi kebijakan dan pembuatan keputusan ( wilson 1990 ).

14.1 Perubahan makna dari kewarganegaraan

Pada peradaban Yunani kuno, kewarganegaraan didefiniasikan sebagai kewarganegaraan yang baik ( good citizenship ) :
Í Seseorang yang yang memiliki pengetahuan dan kapasitas memerintah dan juga diperintah.
Í Merupakan ikatan di antara rakyat, dan antara rakyat dengan pemerintah, melalui partisipasi secara sukarela terhadap urusan- urusan publik.

John Locke :
Makna kewarganegaraan secara prinsip : semua rakyat dapat menjadi warganegara, dan terikat ke dalam hubungan kontraktual yang sukarela satu sama lain.

Marshall ( 1965 ) : 3 tahap hak – hak warganegara :
1. Hak hak sipil : kebebasan berbicara, hak memiliki properti, hak berserikat, dll.
2.Hak berpolitik : merupakan ekspansi dari partisipasi warganegara.--> hak untuk memilih ( vote ), hak untuk dipilih.
3.Hak – hak warganegara : hak – hak kesejahteraan dan hak – hak sosial, yang awalnya berakar dari komunitas lokal di kota dan perusahaan.




Tabel 14.1
Perkembangan elaborasi dari kewarganegaraan di dunia barat.
Hak Isi Institusi
Sipil Hak hukum individu Pengadilan
Politik Partisipasi Parlemen, dewan lokal
Sosial Kesejahteraan, jaminan sosial sistem pendidikan, social
Service
Sumber : Marshall 1965, 78

3 tingkat kewarganeraan :
1. tingkat lokal : pemerintah lokal, dimana warganegara dapat langsung mengalaminya.
2. tingkat nasional : seseorang dapat diplih sebagai anggota partai p[olitik atau anggota dewan.
3. tingkat internasional : kewarganegaraan global
Heater 1990 :Idealnya, ketiga level dari kewarganegaraan ini secara harmonis saling terkait, tidak hanya untuk alasan praktis namun kewarganegaraanjuga dipandang sebagai fenomena multilevel.

Albrow 1996
Pada negara Uni Eropah :kewarganegaraan menempatkan kekuasaan pemerintahpada arena lokal,regional dan supranasional. Dalam kerangka kewarganegaraan yang performatif, yang tidak terbatas pada tingkat lokal dan nasional. Dalam konteks hak hukum, politik dan hak sosial, tidak terbatas kepada warganegara suatu bangsa, namun meluas kepada hak manusia ( human rights )pada skala global.

14.2 Type Interest Group dan Jejaring Interaksi : umum dan Observasi yang country-specific.

I. De Jong ( 1958 ) :
Perbedaan tiga type asosiasi :
1. Asosiasi Konstitusional : berdasarkan hukum dan beberapa jenis keputusan pemerintah. Dibedakan antara : Badan Pembuat Keputusan ( Codeciding Bodies ) : kongres,senat, dewan lokal ( DPD, DPRD ), badan eksekutif( badan implementasi seperti agency dekonsentrasi )dan asosiasi netral ( bagian dari pemerintah, namun tidak terlibat ke dalam poengambilan dan implementasi kebijakan ).
2. Asosiasi yang aktif secara politik :
a. Asosiasi integral yang aktif secara politik ( politically active ntegral association ) :
menempatkan isu yang lengkap menyangkut redistribusi nilai- nilai ( misal : partai politik, gereja ).
b. Asosiasi sektoral yang aktif secara politik ( politically active sectoral associations ) : tidak terbatas pada distribusi nilai dari serangkaian isu yang terkait ( misal serikat pekerja, asosiasi profesional ).
c. Asosiasi kesatuan yang aktif secara politik ( ( politically active sectoral associations ) : fokus kepada satu isu.
3. Asosiasi apolitik :jauh dari proses politik ( misal : klub olahraga, keluarga, usaha kecil ).

II. Almond ( 1968 ) :
Interest group berdasarkan tingkat dimana partai politikdan interest group dibatasi dan dihubungkan oleh area geografis tertentu :
1. Tipe Anglo – American :
Fungsi partai politik dan interest group dibatasi secara kuat. Interest group mencari dukungan dan berupaya mengusahakan keinginannya ke dalam agenda pubik, sedangkan partai politik mengumpulkan berbagai permintaan ( demand ).
2. Tipe kedua : baik partai politik mapun interest group dibedakan secara penuh.
3. Tipe ketiga : contoh di Itali atau Perancis, partai p[olitijk dan interst grup keduanya birokratis, sama dengan tipe Anglo American, namun tidak otonomi, melainkan sangat berhubungan dan saling mengendalikan.
4. Tipe keempat :partai politik mengumpulkan kebutuhan, interest group mengembangkan style konsensus dari pembuatan keputusan. Contoh : negara Skandinavia, Belgia, Belanda.

III. Peters ( 1989 ) :
Kategori interest group berfokus pada bentuk dan tipe interaksi antara interst group dan birokrasi.
1. Tipe Interaksi yang sah :
interest group menjadi bagian institusional dari proses pembuatan keputusan dan akan berkonsultasi pada area spesifik. Contoh : konsultasi antara badan pemerntah dan kaum pengusaha dan serikat pekerja dalam pembuatan kebijakan sosial ekonomi.
Salah satu varian dari tipe ini adalah korporatisme.
Lowi : Pluralisme dengan dukungan ( sponsored pluralism ) à makin besar pengaruh suatu interst group, makin berkurang sifat sukarela dari anggotanya.

2. Tipe Interaksi Clientela :
Pemerintah cenderung berkonsultasi dengan interest group clientela namun tidak diperlukan perangkat hukum dalam hal ini. Hubungan antara birokrasi dan interest group masih tetap langsung.Contoh : asosiasi pertanian. Contoh : USA, Perancis, itali.

3. Tipe Interaksi Parantela :
interaksi antara interest group dan pemerintah didasarkan atas hubungan kekeluargaan / kedekatan. Dalam hal ini hungan keduanya tidak langsung, contoh : beberapa negara Eropah Barat dan selatan( perancis, Itali, Spanyol, Yunani ), amerika Latin,Afrika, negara berpartai tunggal ( Uni sovyet sebelum tahun 1991 ) dimana terdapat hiraki paralel.

4. Tipe Interaksi yang tidak sah :
meliputi semua usaha yang mempengaruhi pembuatan kebijakan di luar salran politik normal , misal demonstrasi dan kekerasan.

Tabel 14.2
Taksonomi Jejaring kebijakan

Aktor Dominan Beberapa anggota Banyak anggota
Negara ( kolektif ) Birokrasi, clientela, jejaring korporat jejaring pluralisme
Masyarak ( individual ) Partisipatori – statis Isu jejaring
Captured statist
Triadic networks
Sumber : Howlett & Ramesh 1998

Peter :
Mengkategorikan interaksi sebagai kesinambungan antara interaksi yang sering dan terinstitusional dalam kasus interest group yang sah di satu sisi dengan interaksi yang tidak terinstitusional dan ad hoc dari nterest group yang tidak sah di sisi lain. Kesamaan di antara mereka adalah adanya upaya untuk melobi apa yang mereka wakili.
Melobi :
- membutuhkan pengetahuan mengenai pertisipan , serta peluang dan resiko konflik, sehingga lobbying merupakan upaya yang profesional.
-Andersen dan Eliassen, 1991 : melobi harus dilakukan pada tahap sedini mungkin dari proses pengambilan keputusan dan pada level hirarkis serendah mungkin.
- Lobbying harus lebih efektif bila berbagai interest group saling mendukung tujuan masing – masing.
- Dalam melobi, organisasi beroperasi dalam suatu jejaring : contoh :
a. segitiga besi : hubungan antara pemerintah, militer dan industri.
b. jejaring isu ( issue networks ) : melibatkan anyak pemain , sehingga lebih terbuka dan
terfragmentasi ( Heclo, 1992 ).
c. jejaring kebijakan ( Van Waarden, 1992 ) ; merupakan konsep palng umum untuk mendesktripsikan hubungan publik dan private, dimana issue network menjadi komponennya.

Van Waarden ( 1992 ) membedakan 11 tipe jejaring kebijakan :
1. Statisme dan pantouflage ( di Perancis, dimana masyarakat sipil berlaih ke posisi industri namun masih teridentifikasi dengan nilai – nilai aslinya ).
2. Captured statism
3. Clientelism
4. Pluralisme yang tertekan ( pressure pluralism ).
5. Hubungan Parantela
6. segitiga besi
7. jejaring isu ( issue networks )
8. Korporatisme sektoral
9. Makrokorporatisme dan intersectoral concertation
10. Korporatisme Negara
11. Pluralisme yang didukung ( sponsored pluralism )

Van warden membedakan 7 dimensi “
Pemain, fungsi, striktur, konvensi dari interaksi, institusionalisasi, pembagian kekuasaan, strategi administrasi publik. Enam diantaranya mempunyai tiga dari 8 karakteristik scoring dari masing – masing tipe 11 jejaring.

14.3. Dari satu menuju ke banyak interest groups

Tipe tertua dari interest group sosial skala besar ( selain gereja ) adalah organisasi bisnis profesional yang dikenal dengan guild ( = firm = firma atau perusahaan ) ( Van Waarden 1992 ). Umumnya diasosiasikan dengan Eropah Barat abad pertengahan, dimana guild ada sampai abad 18. Guild juga ditemukan di negara islam ( kekaisaran byzantine ) dan Cina sampai awal abad 20, babylon, India, Yunani Kuno, dan roma ( Olson, 1982 ). Beberapa guild dibuat khusu untuk kepentingan agama, sosial ( charity ), atau budaya. Yang paling terkenal adalah trade guild ( untuk perdagangan ) dan craft guild ( untuk industri kerajinan) , yang mengorgansir monopoli dari produk spesifik / kerajinan.
Guild bekerja sama erat dengan pemerintah lokal, memastikan kalitas produk dan memonitor hubungan ekonomi di pasar.
Guild dihapuskan seiring dengan meningkatnya ekonomi pasar bebas ( di Inggris dihapus tahun 1762, Tuscany 1770, Perancis 1791 ). Pemerintah menarik diri dari pengendalan langsung terhadap mutu produk.

Abad 19, ide yang mendominasi pasar dan invsible hand adalah harga diciptakan melalui kompetisi tak terbatas antara demand dan supply. Pertumbuhan demografik menumbuhkan permintaan massal untuk prodk yang hanya dapat dipenuhi oleh industrialiasidan inovasi teknologi. Standarisasi proses prodksi menjadi penting. Namun perlu modal besrsehingga perusahaan berupaya membatasi resiko, dengan membatasi kompetisi dan lebih menyukai menciptakan monopoli. à menyebabkan harga naik dan pembatasan produksi bebas à direspon pemerintah dnegan Perjanjian Sherman Anti trustdi USA tahun 1890, atau di Eropah Baratdengan upaya menjalin hubungan antara karyawan dan perusahaan dalam formulasi kebijakan sosal ekonomi.

Van Waarden ( 1985 ) :
Membedakan 4 fase perkembangan kapasitas organisasional dari masyarakat.
1. Fase I : didominasi oleh guilds.
2. Fase II : munculnya organisasi lokal, tahun 1900 an.
3. Fase III : interest groups lokal dan regional bersatudalam organisasi nasional ( pada
paroh pertama abad 20.
4. Fase IV : interest group nasional menjalin hubungan dengan pemerintah, mulai pertengahan abad 20.

Perbedaan antara guild abad pertengahan dan asosiasi interest group modern :
1. Guild dipenuhi oleh fungsi ekonomi dan sosial
2. Mereka beroperasi dalam situasi dimana pemerntah tidak menstimulasi berdirinya organisasi pribadi.
3. Guild sangat hirarkis , tidak ada keseteraan antara atasan dan bawahan.
4. Guild memegang monopoli atas kerajinan dan perdagangannamun sangat terfragmentasi
5. Guild berperan penting dalam pengaturan hubungan antar produsen dengan konsumen dan dalam mengendalikan ekonomi.
6. Guild hanya bermakna di eropah

14.4. Partisipasi Warganegara : asosiasi sukarela, Koproduksi, dan partnership antara publik – privat.

Pendekatan konsep Partisipasi warganegara dilakukan dengan 2 cara :
1. pendekatan dimana warganegara mampu mengorganisir dirinya sehingga fokus pada self governance.
2. Pengertian partisipasi warganegara dalam produksi dan kemungkinan pengambilan keputusanmengenai pelayanan publik à harus dibuat perbedaan antara partisipasi sukarela ( voluntary ) dan wajib ( compulsory ).
Partisipasi dalam termnologi keterlibatan warganegara yang aktualdlam pengambilan keputusan merupakan hal yang mendominasi konsep Barat dalam partisipasi dan bisa langsung, misal melalui referendum, maupun tidak langsung ( partai politik, interest group, voting ).

Jordan ( 1989 ) : Empat masalah dalam kerjasama antar asosiasi sukarela :
1. Tidak adanya kesamaan interest dalam masyarakat modern.
2. Perbedaan keinginan di antara anggotanya
3. Jumlah yang terbatas dari sumber daya alam, waktu dan enewrgi
4.Tidak adanya sistem tunggal dari koordinasi yang bekerja baik untuk semua warganegara.

Dua cara yang dilakukan pemerintah dalam menggunakan kapasitas asosiasi di dalam masyarakat :
1 Partnership antara publik – privat : pemerintah terlibat dalam interaksi produktif dengan perusahaan swasta / privat.
2. Koproduksi : interaksi antara pemerintah dan kelompok masyarakat.
Brudney dan England ( 1983 ) :
Koproduksi terdiri dari keterlbatan warganegara atau partisipasi ( dibandingkan dengan respons birokrasi ) dalam pelayanan jasa urban.hasilnya lebih kepada dampak positif darpada negatif terhadap pola pelayuanan jasa. Koprouksi berakar dari kerjasama sukareka dari warganegara dibandingkan dengan ketaatan ( compliance ) terhadapo hukum, dan lebih melibatkan perilaku aktif daripada pasif. Kedua kelompok dan individu dapat terlibat ke dalam koproduksi namun keterlibatan yang lebih penting adalah kolektivitasnya.




14.5. Antara negara dan pasar : tindakan kolektif, umum dan korporatisme.

Keterlibatan pemerintah diperlukan mengingat pada saat orang dihadapkan dengan pilihan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, orang akan memilih yang pertama, sehingga perlu intervensi pemerintah pada area dimana pasar tidak peduli.
Hardin ( 1968 ) : mansia terfokus pada keuntungan jangka pendek yang mereka bisa dapat dan akan menguras sumber daya dimana hidup mereka tergantung padanya. Individu yang pedulimengenai sumber daya dan mencari jalan untuk melindunginya harus menerima bahwa orang lain yang tidakj berkontribusi ( para pendompleng / free rider ) akan mendapatkan keuntungan dari usaha mereka.

Elinor Ostrom : Common Pool Resource ( CPR ) arrangement :
Í Organisasi yang beroperasi di antara Negara dan pasardimana teori poltik tradisional dan ilmu politik difokuskan pada pilihan ekstrim atau solusi.
Í Merupakan organisasi kemasyarakatan, nakun berbeda dengan yang lain dimana mereka dapat menjatuhkan sangsi terhadap mereka yang tidajk mengikuti aturannya.
Í Perkembangannya melalui proses bottom up.

Tabel 14.3.
Perbandingan Umum ( Commons ) , Pasar dan Negara dalam 5 Dimensi

Pasar Umum Negara
Partisipasi Tidak memaksa Tidak memaksa Memaksa
Tujuan Memaksimalkan Dibagi ( shared ) Otoritatif
( private goods ) ( common goods ) ( public goods )
Sumber Daya Pribadi / private Umum Publik
Timbal Balik Quid pro quo Saling menguntungkan Persamaan
Hubungan sosial caveat emptor Adil hukum
Sumber : Lohmann 1992

Streeck dan Schimtter ( 1985 ) :
Baik komunitas ( solidaritas spontan ), pasar ( kompetisi ), negara ( hirarki ) tidak menghaislkan kemampuan problem solving yang memadai -à Private Interest Government ( PIG ) : pengaturan dimana suatu upaya dibuat untuk membuat asosiatif, tindakan kolektif kepentingan pribadi yang berkontribusi kepada pencapaian tujuan kebijakan publik

Dalam hal ini konsep PIG tidak banyak berbeda dengan CPR. Keduanya menekankan kepada gabungan upaya individual, yang terikat namun tidak ditentukan oleh negara dan sistem administratif. Bedanya pada pencapaian tujuan kebijakan publik dimana tujuan ini identik dengan kebijakan pemerintah. Dalam hal ini PIG merupakan contoh dari korporatisme.

Korporatisme adalah kopnsultasi yang terinstitusi ( terorganisir, sering, dan wajib ) dari interest group oleh pemerintah, sama halknya dengan commons ( umum ), yang merepresentasikan situasi dari timbal balik yang saling menguntungkan.

Pada situasi Societal of Neocorporatism : sema organisasi kemasyarakatan mempunyai peluang untuk membentuk isu dari kepentingan umum dan publikdi dalam strukturdari knsultasi dan pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Pemerintah berperan sebagai mediator di antara berbagai interst groups seperti negosasi gajiantara serikat pekerja dan asosiasi pengusaha à Bottom up Corporatism. Lawannya adalah Top Down Corporatism, dikenal sebagai State Corporatism ( korporatisme Negara ) , contohnya pada fasisme Itali.

Dahl dan Lindblom ( 1953 ) : poliarchy :
Demokrasi dimana para non leaders / bukan pemimpin menjalankan kontrol yang tinggi terhadap para pemimpin pemerintahan. Mereka mengisyaratkan adanya bahaya dari tawar menawar nasional sebagai bagian dari organisasi raksasa yang akan membahayakan kedaulatan rakyat.


14.6. Kesimpulan : masyarakat Sipil ( civil society ) sebagai Utopia atau Alternatif Realistik dari Pelayanan Publik

Follet 1920, Putnam, Leonardi, Nanneti 1993
Kualitas pemerintah pada tingkat lokal sangat tergantung kepada tingkat dimana warganegara terlibat dalam komunitasnya ( voting, membaca koran, namun juga sebagai anggota asosasi di lingkungannya ). Dari sudut pandang ideologi, masyarakat sipil merupakan jalan untuk merevitaliasi warganegara sebagai anggota aktif pemerintah. Seperti halnya neokorporatisme dan koproduksi, masyarakat sipil merupakan jalan untuk mengeskpresikan harapan dimana individu akan mengambil tanggung jawabnya sebagai warganegara dan mengkombinasikannya untuk memenuhi kekosongan yang ditinggalkan sebagai konsekuensi dari reformasi kesejahteraan negara.