Selasa, 03 Februari 2009

KAJIAN EKONOMI POLITIK TERHADAP KEBIJAKAN KEPARIWISATAAN

Oleh : Srie Saadah Soepono -2008
I PENDAHULUAN


Berbicara tentang kepariwisataan nasional dalam kaitan dengan ketentuan perundang-undangan, mengharuskan kita melihat 3 dimensi sebagai kurun waktu masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa agar penyelenggaraan kepariwisataan dapat berhasil dengan baik, perlu dimanfaatkan secara tepat komponen yang menjadi pendukungnya. Diantara komponen-komponen tersebut yang telah dimiliki bangsa Indonesia, bahkan merupakan modal dasar bagi pengembangan kepariwisataan adalah alam flora dan fauna, serta budaya bangsa. Tuhan Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan kepada bangsa kita sebuah tanah air yang berupa suatu kepulauan yang terbesar di dunia, yang terdiri dari 17.058 pulau besar dan kecil yang disatukan oleh lautan Nusantara. Laut yang luas bukan saja indah, tetapi sekaligus merupakan potensi pariwisata bahari yang sukar dicari tandingannya di dunia.
Di samping itu bangsa Indonesia yang merupakan kesatuan dari berbagai sukubangsa, memeluk berbagai agama dan kepercayaan, berbicara dalam berbagai bahasa daerah, pendukung sub kultur daerah yang beraneka ragam, tetapi berada dalam satu ikatan kejiwaan, memiliki satu pandangan hidup sebagai suatu bangsa berdasar Pancasila. Ternyata bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika tersebut juga merupakan modal yang besar untuk membangun kepariwisataan nasional. Bahkan jika kita mengamati sejarah, budaya bangsa tersebut bukan sekedar baju yang memberi warna khas kepada bangsa Indonesia, tetapi kebudayaan yang bersemayam di dalam jiwa rakyat itu, ternyata telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan dahsyat yang mampu berdiri tegar di bawah penjajahan politik bangsa lain.
Modal-modal dasar yang merupakan potensi besar tersebut perlu dibuat efektif agar memberi manfaat secara langsung pada kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Dimasa-masa lampau, khususnya pada dasa warsa pertama dan kedua dalam kehidupan bangsa yang merdeka, walaupun pemerintah telah mampu melihat modal dasar alam, flora, fauna dan budaya sebagai potensi kepariwisataan, namun secara nasional ada masalah-masalah yang jauh lebih besar yang menyangkut eksistensi bangsa yang perlu diberi prioritas.
Dengan kondisi nasional demikian, dapatlah dipahami bahwa kegiatan kepariwisataan belum memberi warna kepada kehidupan bangsa, dan dapat dimengerti pula bila peraturan perundang-undangan di bidang tersebut belum banyak diterbitkan.
Berbeda dengan kurun waktu tersebut, pada dasa warsa tujuh puluhan dimana situasi nasional sudah berkembang kearah pembangunan ekonomi, berkembang pula kesempatan untuk membangun dan menata berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan agar pembangunan ekonomi itu sendiri dapat berlangsung dengan baik secara bertahap dan mantap, tersedia fasilitas transportasi, telekomunikasi informasi dan lainnya yang mempengaruhi bahkan menentukan aspek aksesibilitas. Faktor-faktor tersebut sangat penting bagi kepariwisataan. Bersamaan dengan itu pula pemerintah berusaha menciptakan dan memelihara stabilitas yang dinamis di bidang ekonomi, social-budaya, politik maupun pertahanan dan keamanan, yang sangat penting dalam upaya menciptakan iklim kondusif. Kondisi aman dan stabil juga merupakan faktor lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan kepariwisataan nasional.
Faktor-faktor yang disebutkan diatas ditambah dengan naiknya pendapatan perkapita sebagai akibat pembangunan di bidang ekonomi, telah meningkatkan mobilitas penduduk dari satu daerah ke daerah lain yang didasarkan berbagai motivasi. Keadaan ini secara tidak sadar telah mendorong majunya kepariwisataan dengan meningkatnya secara drastis kebutuhan akan transportasi, akomodasi, restoran dan lain-lain usaha yang terkait seperti biro perjalanan, informasi tentang daerah tujuan wisata, objek dan daya tarik wisata.
Menyadari kondisi yang semakin maju, pemerintah mulai lebih sistematis dan intensif menangani kegiatan kepariwisataan dengan memperhatikan tidak saja yang bersifat teknis, akan tetapi juga aspek kebijakan. Termasuk didalamnya adalah merubah citra masyarakat terhadap pariwisata dari yang negatif menjadi positif. Hal ini penting agar pembangunan pariwisata mendapat dukungan dari masyarakat. Sungguh suatu kemajuan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi di sisi lain juga menimbulkan tuntutan bukan saja mengenai perangkat kerasnya, tetapi juga juga mengenai perangkat lunaknya, termasuk di dalamnya adalah masalah-masalah di bidang pengaturan.
Tuntutan kebutuhan yang meningkat secara drastis tidak dapat menunggu terlalu lama, dan tidak dapat dibiarkan berjalan tanpa adanya undang-undang sebagai dasar hukum yang kokoh. Menghadapi situasi demikian, pemerintah mengatasi secara kasuistik, dengan masalah yang timbul atau bersifat sektoral tergantung dari sektor permasalahan yang dihadapi, berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Rancangan Undang-Undang Kepariwisataan telah dipersiapkan sejak tahun 1971, dan baru disyahkan sebagai Undang- Undang pada tahun 1990, yang bernomor 90, sampai saat ini masih dianggap masih efektif dilaksanakan.
Dengan demikian yang menjadi motivasi terkuat menetapkan Undang-Undang tersebut adalah desakan perkembangan kegiatan kepariwisataan yang memberikan tantangan yang harus diatasi. Karena itu berbagai studi dilakukan baik melalui studi banding ke Negara-negara yang dinyatakan sudah maju kepariwisataannya, ataupun juga melalui penelitian ke berbagai daerah di Indonesia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan atau dikelola dengan baik.
Agar undang-undang dapat diserap oleh masyarakat Indonesia, bahan-bahan yang telah terkumpul di tangan pemerintah diperkaya dengan menyerap berbagai aspirasi masyarakat.
Dengan demikian, tepatnya pada tanggal 27 September 1990 telah diukir dengan mengisi kemerdekaan melalui pemberian landasan yang lebih kukuh untuk membangun dunia kepariwisataan Indonesia, dengan lahirnya Undang-Undang Kepariwisataan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya yang memotivasi utama keinginan besar digulirkannya Undang-Undang Kepariwisataan ini adalah sebagai tanggapan aktif terhadap globalisasi dan daya saing yang semakin tinggi


II MANFAAT KEBIJAKAN

Perkembangan teknologi dewasa ini telah menimbulkan tuntutan baru dalam penyelenggaraan kepariwisataan yang patut menjadi perhatian dengan sungguh-sungguh karena persaingan akan semakin ketat dan pelayanan dituntut lebih tinggi kualitasnya. Di sisi lain wajib diwaspadai kemungkinan timbulnya dampak negative terhadap kehidupan nasional, terutama polusi budaya dan dampak negative terhadap kelestarian dan mutu lingkungan hidup. Untunglah hal-hal demikian telah tercantum dalam pasal-pasal Undang-Undang Kepariwisataan. Di samping itu Undang-Undang tersebut secara jelas memberikan landasan idiil, filosofi dan sekaligus operasionalnya. Sedangkan arah dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan tidak hanya ekonomis saja sebagai peluang untuk memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, tetapi juga tetap memperhatikan nilai-nilai agama, kebudayaan, adat istiadat yang secara keseluruhan diarahkan untuh memperkokoh jati diri bangsa. Bahkan juga ada aspek politis yaitu mempererat kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan wawasan nusantara serta mempererat persahabatan dunia.
Sungguh Undang-Undang Kepariwisataan ini merupakan hasil karya bangsa yang tidak menjiplak bangsa lain, juga tidak sekedar mengadakan penyempurnaan atau penyesuaian terhadap undang-undang yang ada, tetapi benar-benar produk hukum nasional yang asli yang didasarkan pada falsafah yang integralistik sesuai dengan dasar Negara Pancasila.
Dengan adanya Undang-Undang Kepariwisataan ini, menjadi mantaplah penyelenggaraan kepariwisataan nasional, karena dasar berpijak lebih kukuh, landasan bergeraknya lebih kuat, batas-batas kewenangan lebih jelas, pengelompokan usaha menjadi tegas, begitu pula keikutsertaan masyarakat mendapat tempat secara proporsional.
Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, penyelenggaraan dan pembinaan kepariwisataan nasional bertambah lugas, lebih menyuburkan dan memeratakan usaha-usaha bidang kepariwisataan, mendorong dan memacu pembinaan kebudayaan nasional, memperkukuh jati diri bangsa yang pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu daya tarik wisata dunia yang handal. Tetapi yang terpenting adalah memberikan sumbangan yang nyata kepada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Jika kepariwisataan nasional yang demikian terwujud, ditengah-tengah Negara lain berlomba mengejar kemajuan teknologi yang dapat mengakibatkan kegersangan kehidupan cultural, maka kelestarian lingkungan hidup dan kesuburan budaya nasional, yang merupakan buah keberhasilan pembinaan kepariwisataan Indonesia berdasarkan undang-undang ini, akan terwujudlah ungkapan tentang kemasyhuran Indonesia sebagai Zamrud di khatulistiwa, bahkan dapat menjadi taman sarinya dunia.
Keanekaragaman sukubangsa di Indonesia dengan kebudayaan yang dimiliki masing-masing sukubangsa tersebut turut memberikan andil dan peranan bahkan pengayaan pada dunia kepariwisataan Indonesia. Sungguh suatu kekayaan yang luar biasa yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai sektor kehidupan bangsa Indonesia, adalah asset yang seyogianya memang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Tidak hanya di daratan, di lautan pun tidak sedikit kekayaan yang bisa dijadikan peluang besar kepariwisataan bahari Indonesia ini. Sehingga di era Presiden Megawati Soekarno-putri, diterbitkan Surat Keputusan Presiden Nomor 126 tahun 2001, tentang penetapan tanggal 13 Desember sebagai hari perayaan nasional untuk memperingati Hari Nusantara. Namun Keppres tersebut masih bersifat fakultatif.
“Kita harus mampu memperoleh jalan keluar yang lebih baik, dari sekedar membagi-bagi laut menjadi wilayah-wilayah otonom. Dengan peringatan Hari Nusantara ini, mari kita perteguh tekad dan semangat untuk menjadikan laut sebagai pemersatu. Laut adalah perekat kehidupan bangsa yang sangat beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, sekaligus menggugah kesadaran untuk membangun wawasan nusantara dengan meletakkan seluruh aspek kehidupan berbangsa sebagai satu kesatuan yang utuh”.Demikian disampaikan Megawati pada peringatan Hari Nusantara tahun 2004 di Cilegon Banten.
Mempertimbangkan begitu besarnya potensi wisata di Indonesia itulah maka sudah sepantasnya ada peraturan yang bisa memberikan berbagai rekomendasi dan keleluasaan dalam menangani berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kepariwisataan, seperti wilayah kepemilikan kawasan wisata akibat Otonomi daerah, obyek dan daya tarik wisata, usaha pariwisata, peran serta masyarakat, pengelolaan, pembinaan dan sebagainya.
Perkembangan kepariwisataan di Indonesia dapat dibuktikan dengan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke kawasan wisata Indonesia dari tahun ketahun terus meningkat, walaupun pada tahun 2002 sedikit menurun akibat bom Bali, karena Bali merupakan barometer kepariwisataan Indonesia. Namun setahun setelah itu kepercayaan wisatawan asing akan keamanan di Indonesia mulai membaik, dan wisatawan pun berdatangan ke Indonesia.
Untuk mengimbangi arus wisatawan mancanegara ke Indonesia, telah dibuka 13 pintu masuk melalui lapangan terbang, yaitu Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, Polonia, Batam, Sam Ratulangi, Juanda, Entikong, Adi Sumarno, Minangkabau, Mataram, Hasanuddin, Tanjung Priok dan Tanjung Pinang. Belum lagi wisatawan yang datang melalui pelabuhan Laut.
Dengan melihat tantangan masa depan, perkembangan teknologi, beserta pertumbuhan pariwisata dunia, maka undang-undang yang akan dilahirkan nanti harus mampu mengantisipasi perkembangan dunia masa depan berikut dampak negatifnya. Oleh karenanya perlu pula dipertimbangkan dua hal sebagai berikut:
1. Kepesatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang transportasi, telekomunikasi dan informatika, yang erat hubungannya dengan kepariwisataan.
2. Sifat interdependensi internasional, yang mengharuskan perlunya kerjasama internasional antar bangsa dipererat.
Kedua hal tersebut baik langsung maupun tidak, mempunyai dampak baik positif maupun negative, yang berupa tuntutan terhadap pembinaan dan perkembangan pariwisata nasional yang lebih lugas dan mantap.



BAB III. PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PROSES PEMBENTUKAN KEBIJAKAN SERTA PEMBAHASANNYA

Suatu peraturan, baik dari segi struktur diawali dengan Undang-Undang sampai dengan Peraturan-Peraturan Daerah, sudah pasti tidak dapat dilakukan sendiri dalam arti satu instansi saja, satu institusi saja, atau hanya pimpinannya saja yang membuat. Peraturan dibuat mungkin atas prakarsa suatu institusi misalnya karena dianggap perlu untuk dibuat pada saat itu, akan tetapi keterlibatan berbagai pihak sangat diperlukan. Hal ini disamping mendapat banyak masukan guna memperkaya peraturan tersebut, akan tetapi yang lebih penting adanya koordinasi yang jika peraturan itu diberlakukan akan mendapat respon berbagai pihak secara bersama-sama. Seperti juga dengan Undang-Undang Kepariwisataan NO. 9 tahun 1990 ini, yang sebelumnya disusun terlebih dahulu Rancangan Undang-Undangnya yang bernomor : R.09/PU/XII/1989, senantiasa merupakan hasil dari rumusan berbagai pihak terkait, apakah itu instansi pemerintah, swata, Pengusaha, Lembaga Swadaya Masyarakat, Asosiasi atau organisasi, Tokoh Masyarakat dan sebagainya.
Pihak utama yang terlibat atau yang mempunyai gagasan pembentukan Undang-Undang Kepariwisataan ini adalah Pemerintah yang waktu itu masih Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, dimana Bapak Susilo Soedarman sebagai Mentrinya.
Berangkat dari Ketetapan MPRRI Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Sub Sektor Pariwisata dikemukaan antara lain, bahwa:
“Pembangunan kepariwisataan dilanjutkan dan ditingkatkan dengan mengembangkan dan mendayagunakan sumber dan potensi kepariwisataan nasional menjadi kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan untuk : memperbesar penerimaan devisa, memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja terutama bagi masyarakat setempat, mendorong pembangunan daerah serta memperkenalkan alam, nilai dan budaya bangsa”.
Dengan demikian jika diperhatikan lebih seksama amanat BGHN tersebut, maka pariwisata sebagai salah satu aspek penyelenggaraan Negara, sudah seharusnya diselenggarakan berdasarkan norma dasar kenegaraan sebagaimana tercantum dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, karena GBHN itu sendiri merupakan penjabaran dan bersumber kepada landasan idiil dan konstitusional tersebut.
Oleh karena itu, maka penyelenggaraan kepariwisataan nasional di dalam praktek harus mampu menjadi sarana untuk mengejawantahkan cita-cita bangsa, dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melestarikan dan memperkukuh jati diri bangsa, serta dapat menjadi piranti untuk ikut serta menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan atas kemerdekaan, keadilan sosial guna mewujudkan perdamaian abadi antara bangsa-bangsa di dunia. Dalam upaya ingin mewujudkan cita-cita tersebut perlu dimiliki gambaran yang nyata tentang kegiatan kepariwisataan nasional baik terkait dengan Wisman (Wisatawan Mencanegara) maupun WISNU (Wisatawan Nusantara).
“Perkembangan kegiatan pariwisata, dalam kurun waktu satu dasa warsa terakhir ini misalnya, tampak dengan jelas bahwa kegiatan pariwisata telah mempunyai peranan yang konkrit dengan sumbangan yang nyata bagi pembangunan nasional, meskipun kita belum pernah memiliki sebuah undang-undang nasional di bidang kepariwisataan sejak Indonesia merdeka sampai kini, kita juga dapat mengamati terdapat kecenderungan terus meningkatnya kegiatan tersebut di masa mendatang. Bersamaan dengan meningkatnya dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan nasional dan internasional tersebut, timbul tantangan yang memerlukan adanya pengaturan yang lebih lugas untuk memberikan kekuatan dan dasar hokum yang lebih kukuh terhadap kegiatan penyelenggaraan pariwisata di masa-masa mendatang” Demikianlah yang dikemukakan oleh Bapak Soesilo Soedarman.
Agar undang-undang yang akan dibuat dapat diserap oleh masyarakat Indonesia, bahan-bahan yang terkumpul ditangan pemerintah diperkaya dengan menyerap aspirasi yang timbul di masyarakat. Diadakanlah pertemuan dan diskusi berbagai pihak lain baik para cendekiawan dan para ahli di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Di samping itu juga dengan masyarakat pengusaha seperti Asita, PHRI, Inaca, Putri, Gahawisri dan lain-lain sebagai pihak yang menangani kepariwisataan langsung di lapangan sesuai dengan bidang masing-masing. Pemerintah dalam hal ini Departemen Parpostel (pada waktu itu) menyadari bahwa penyelenggaraan kepariwisataan memerlukan dukungan dari sektor-sektor lain. Masalah lintas sektoral inipun menjadi salah satu pusat perhatian dalam menyiapkan naskah RUU, sehingga diambil langkah-langkah untuk mensinkronkan persepsi melalui rapat-rapat Inter-Departemen yang membahas aspek-aspek yang terkait antara Depparpostel dengan Depdagri, Kehakiman, Hankam, Perhubungan, Pendidikan dan Kebudayaan (pada waktu itu), POLRI, Kehutanan dan Departemen Pertanian.Di samping itu juga adanya keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat RI, Lembaga Swadaya Masyarakat, Tokoh-tokoh Masyarakat dan sebagainya yang memiliki relevansi dengan pariwisata.
Tidaklah mengherankan ketika DPR-RI mengadakan dengar pendapat dengan masyarakat mendapat perhatian besar, bahkan di beberapa daerah diadakan seminar yang secara langsung menjadikan RUU kepariwisataan sebagai thema sentuhannya, yang intinya menitipkan pesan agar aspirasi masyarakat tidak diabaikan, sebaliknya dapat ditampung di dalam pembahasan RUU.
Kondisi di dalam masyarakat seperti tergambar demikian itu bukan saja menghangatkan pembicaraan tentang RUU kepariwisataan di luar gedung DPR-RI, juga mempertajam pembahasan di dalam sidang-sidang pleno, Pansus dan Panja antara pemerintah dengan DPR-RI.
Hal yang bukan saja mempertajam pembahasan, tetapi membuat alot dan seretnya awal pembahasan adalah belum ada satupun Undang-Undang Nasional yang dapat dijadikan rujukan sebelumnya, dan belum ada istilah yang baku tentang Pariwisata, yang dapat dipakai sebagai pedoman dan titik tolak berpikir bersama.
Semua pihak, baik Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat merasa benar, merasa tepat, merasa tahu apa itu Pariwisata, tetapi juga semua mengakui bahwa pegangan dan ukurannya masing-masing berbeda. Justru disinilah letaknya kesempatan bagi semua yang terlibat dalam pembahasan untuk menemukan sesuatu yang baru, yang kemudian ternyata menjadi kunci pembuka untuk pembahasan-pembahasan selanjutnya. Situasi demikian ibarat sebagai orang-orang yang berada dalam kegelapan diminta untuk memberikan gambaran tentang seekor gajah. Dapatlah dimengerti bahwa masing-masing akan mengatakan secara yakin tentang gajah yang besar berdasarkan versi masing-masing tetapi pada akhirnya masing-masing sadar bahwa yang dipegang dan dianggap paling benar adalah bagian-bagian dari tubuh gajah, bukan gambaran gajah yang utuh dan menyeluruh.
Kesulitan awal yang dihadapi adalah ketika membahas unsure-unsur yang menyangkut butir-butir rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan Wisata, Wisatawan, Pariwisata, Kepariwisataan, Usaha Kapariwisataan, Objek dan Daya Tarik Wisata, Kawasan Pariwisata, bahkan sempat timbul pertanyaan apakah pariwisata itu industri atau bukan, yang akhirnya disepakati sebagai usaha.
Selanjutnya pembahasan dilakukan terhadap usaha pariwisata, yang kemudian disepakati diadakan pengelompokkan kedalam :
a. Usaha jasa pariwisata (didalamnya telah termasuk usaha jasa pariwisata)
b. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata
c. Usaha sarana pariwisata
Yang terpenting lagi dalam kesempatan itu adalah pemberian kesempatan usaha kepada koperasi sebagai salah satu kekuatan ekonomi nasional.
Masalah lain yang cukup menarik adalah diterimanya prinsip bahwa semua penggolongan usaha pariwisata mempunyai kedudukan sama, yang satu tidak lebih penting dari yang lain. Konsekwensinya mempengaruhi susunan dan penempatan pasal-pasal yang ada di dalam RUU tetapi tidak mempengaruhi bab-bab yang ada. Tetapi RUU yang diajukan oleh pemerintah tetap sebagai acuan.
Yang menarik dalam pembahasan itu adalah suasana kerja dalam pembahasan sidang-sidang, yang setiap tahap selalu akrab dan mesra, tetapi tetap lugas. Sehingga pada hal-hal yang bersifat prinsipil seringkali terjadi lobby dan memakan waktu cukup lama untuk satu masalah saja. Namun kesamaan itikad antara pemerintah dan dewan-lah yang selalu menjadi kunci penyelesaian.
Pembahasan RUU itu pada awalnya dirasa sangat alot, khususnya Bab III dan Bab IV, adalah karena banyaknya referensi yang diangkat dari berbagai literature, hasil studi di Negara lain, di samping belum ada satupun undang-undang nasional sebagai hukum positif yang dapat dipakai sebagai pegangan dan landasan. Oleh karena itu perlu diketemukan pengertian-pengertian dasar yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk membahas berbagai aspek kegiatan kepariwisataan yang menyangkut aspek kebijakan, perencanaan, pengaturan, pengusahaan, pengelolaan, pembangunan objek dan daya tarik wisata, serta pengawasan dan pengendaliannya.
Satu hal lagi yang berhasil diangkat adalah keberhasilan memecahkan masalah “Dewan/Badan” yang bersifat ekstra struktural, untuk menampung aspirasi masyarakat dalam keikutsertaannya dalam kegiatan kepariwisataan. Sidang telah dengan arif dapat melihat esensi perbedaan antara wadah dan isi, sehingga dicapai kesepakatan bahwa yang utama bukanlah wadah, tetapi isi. Pandangan yang arif inilah yang berhasil menetapkan materi keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Kesempatan masyarakat bukan saja ikut serta dalam pembangunan, pengembangan dan pengelolaan, tetapi juga yang sangat prinsipil adalah pemberian kesempatan kepada rakyat setempat untuk ikut serta menjadi pemilik dalam pengusahaan kawasan pariwisata.
Satu hal yang fundamental dan perlu diangkat ke permukaan dalam kaitan ini adalah bahwa betapapun tajamnya perbedaan pendapat terjadi dalam sidang-sidang maupun dalam forum lobby, bila sudah menyentuh kepentingan nasional, maka semua pihak baik fraksi-fraksi dalam DPR-RI maupun pemerintah, dengan ikhlas mau melepaskan kepentingan golongan untuk tunduk pada kepentingan nasional yang lebih besar. Hal seperti itu sebagai pengejawantahan yang nyata penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan sekaligus praktek penyelenggaraan Negara sebagai pengeterapan demokrasi Pancasila.
Dengan demikian jelas bahwa kepariwisataan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (sekarang), akan tetapi juga lintas departemen yang secara bersama-sama turut punya peranan baik langsung maupun tidak langsung. Langsung biasanya yang bersifat pisik, seperti pengadaan dan perbaikan infra struktur, yang tidak langsung biasanya yang bersifat value, yang dampaknya akan dirasakan mungkin beberapa tahun kemudian.
Beberapa asosiasi atau Perkumpulan atau institusi lain yang terlibat langsung dengan Kepariwisataan tidak dipandang sebelah mata, karena kedua belah pihak akan memperoleh manfaat dari hasilnya dari diberlakukannya Undang-Undang tersebut.


BAB IV
PEMILIHAN WAKTU PEMBERLAKUAN
UNDANG-UNDANG NO 9 TAHUN 1999


Pada Bab IX pasal 40. Ketentuan Penutup dari Undang-Undang Kapariwisataan, dikemukakan:
“ Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
Sedangkan Undang-Undang Kepariwisataan tersebut diundangkan di Jakarta, pada tanggal 18 Oktober 1990 oleh Mentri/Sekretaris Negara pada waktu itu yaitu Murdiono dan sisyahkan pada tanggal,bulan dan tahun yang sama oleh Presiden Republik Indonesia pada waktu itu, adalah Soeharto.
Adapun Sambutan pemerintah dalam hal ini Mentri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi pada waktu ini Soesilo Soedarman dibacakan pada tanggal 27 September 1990. Hari tersebut dipilih, karena tanggal tersebut merupakan Hari Bhakti Parpostel yang setiap tahun diperingati.
Sampai saat ini undang-undang tersebut masih diberlakukan di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, sampai adanya undang-undang yang baru. Pesatnya perkembangan pariwisata di Indonesia, tampaknya pemerintah sedang merencanakan untuk menyusun Undang-Undang Kepariwisataan yang baru.
“Undang-Undang tersebut pendekatannya relative konvensional, hanya berfokus pada beberapa sector. Karena itu, tahun ini kami bersama DPR tengah membahas agar ada undang-undang pariwisata yang baru yang bisa mencakup berbagai aspek di dalam kehidupan masyarakat, baik ekonomi maupun kehidupan pariwisata nasional kita” Demikian dikemukakan oleh DR Sapta Nirwandar yang pada waktu itu menjabat sebagai Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Langkah pertama adalah mengumpulkan berbagai masukan dari para stake holder
Aspirasi masyarakat merupakan unsure penting sebagai masukan dalam penyusunan undang-undang yang akan dating, Sebab undang-undang tersebut harus memiliki nilai strategis dan bisa dilaksanakan, serta dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan pemerintah. Setelah itu langkah sosialisasi, agar masyarakat tahu. Juga agar masyarakat menjadikan undang-unang itu sebagai pedoman dalam berbagai dimensi pariwisata, apakah dalam bentuk usaha, peningkatan destinasi atau peningkatan infra strutur dan sebagainya.
“Undang-Undang Pariwisata yang baru memang belum terbentuk, namun berarti pemerintah berdiam diri, setiap tahun ada yang namanya Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang menjadi tolok ukur atau pedoman untuk melakukan perencanaan kerja” ungkap Sapta Nirwandar selanjutnya.
RKP tersebut telah melalui jalan panjang sebelum pada akhirnya menjadi Keppre. Selain dibahas dengan DPR untuk mendapat masukan, Depbudpar telah mendiskusikan pula dengan Departemen lain, serta dengan dunia usaha yang terkait dengan bidang pariwisata. Dari sinilah kemudian Depbudpar merancang strategi guna menggalakkan pariwisata Indonesia. Berbagai inovasipun diluncurkan, seperti wisata bahari dan wisata ziarah yang merupakan pekerjaan rintisan Depbudar.


BAB V -KESIMPULAN


“Bagaikan jalan di hutan tanpa kompas”, demikianlah perjalanan kepariwisataan sebelum dikumandangkan Undang-Undang kepariwisataan. Walaupun perkembangan kepariwisataan tidak diragukan lagi.
Tuntutan pemerintah dan masyarakat, serta desakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah tidak terbendung lagi. Akhirnya pada tanggal 18 Oktober 1990, tidak sampai sebulan dari pemerintah (DEPPARPOSTEL) berpidato di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, Mentri Sekretaris Negara dengan disetujui Presiden pada waktu itu menyetujui dan menyatakan undang-udang tersebut diundangkan.
Melalui pariwisata, Negara memperoleh devisa yang cukup tinggi di samping pajak, dan ini menjadikan pariwisata sebagai sector unggulan diluar non migas, Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja berdampak positif bagi kemajuan pariwisata yang sudah ada di bidang ekonomi, social, budaya dan politik, akan tetapi juga telah mampu menciptakan kawasan pariwisata baru. Terobosan seperti itu adalah suatu strategi pengembangan untuk mengimbangi daya saing Negara yang sudah lebih dahulu mengalami kemajuan.
Dengan telah adanya Undang-Undang Pariwisata, walaupun dapat dikatakan berumur cukup tua, pemerintah bersama-sama dengan stake holder dan masyarakat dapat melangkah dengan pasti menyelenggarakan berbagai kegiatan kepariwisataan nasional, karena punya dasar berpijak lebih kukuh, landasan bergeraknya lebih kuat, batas kewenangannya menjadi lebih jelas, pengelompokkan usahapun menjadi tegas, serta keikutsertaan masyarakat mendapat tempat secara proporsional.
Yang paling penting dalam undang-undang kepariwisataan adalah penataan organisasi, manajemen, administrasi, pembinaan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya yang dapat berpengaruh pada system pelayanan masyarakat. Pada era sekarang ini bukan lagi pembinaan sumberdaya, tapi sudah waktunya menjadi pemberdayaan sumberdaya yang tersedia. Untuk itulah maka pemerintah sudah merencanakan pembuatan undang-undang baru yang lebih efektif dan efisien.

RINGKASAN EKONOMI POLITIK

TEORI – TEORI EKONOMI

By : Nyoman Rudana, SE- Mahasiswa pasca sarjana STIA LAN Jakarta program studi Manajemen Pembangunan Daerah - 2008


1. TEORI KLASIK ADAM SMITH

Termasuk teori ekonomi pembangunan.
Pembangunan ekonomi sebagai prose pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan memanfaatkan meknisme pasar.
Syarat pertumbuhan ekonomi : investasi dan spesialisasi yang dikontrol melalui mekanisme pasar.
Campur tangan pemerintah : minimal ( the minimal government is the best government ), dengan mengupayakan agar mekanisme pasar berjalan baik.
Ada 3 unsur utama proses pertumbuhan hasil produksi :
1. SDM : pertambahan jumlah penduduk
2. Pertambahan persediaan barang modal ( akumulasi modal ) karena tabungan masyarakat diinvestasikan oleh pemilik modal dengan harapan memperoleh keuntungan
3. Spesialisasi dan pembagian kerja disertai perluasan pasar dan perkembangan perdagangan baik perdagangan dalam negeri maunpun internasional.

Jumlah penduduk > à pasar > à tingakt spesialisasi dan pembagian kerja > à teknologi inovasi > -à produktivitas > à ekonomi > à Pendapatan nasional >
( catatan : > : meningkat )


2. TEORI NEO KLASIK DAVID RICARDO


Comparative Advantage

Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) merupakan teori yang dikemukakan oleh David Ricardo. Menurutnya, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia sama-sama memproduksi kopi dan timah. Indonesia mampu memproduksi kopi secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi timah secara efisien dan murah. Sebaliknya, Malaysia mampu dalam memproduksi timah secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi kopi secara efisien dan murah. Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi kopi dan Malaysia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi timah. Perdagangan akan saling menguntungkan jika kedua negara bersedia bertukar kopi dan timah.
Dalam teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan standar kehidupan dan pendapatannya jika negara tersebut melakukan spesialisasi produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi.

3. TEORI HARROD DOMAR ( CAPITAL OUTPUT TEORI )

Melihat pentingnya investasi dalam tdh pertumbuhan ekononomi, karena investasi meningkatkan barang modal. Yang memungkinkan peningkatan output.


5 TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI

1. THE LINEAR STAGES THEORY :

a. TAHAP – TAHAP PERTUMBUHAN – KARL MAX

+ Perbudakan
+ Feodalisme
+ Kapitalisme
+ Sosialisme
+ komunisme

Proses Kemajuan ekonomi sebagai proses evolusi sosial.
Faktor pendinamis perkembangan ekonomi adalah teknologi.
Awalnya tekonologi dikuasai oleh kaum borjuis – kapitalis ( KAPITALISME ) à penambahan stok barang modal untuk maksimalisasi keuntungan dengan PERBUDAKAN ( ekspolitasi buruh ) à ada FEODALISME à jangka panjang : pasar melemah karena pertambahan stok barang modal tidak diiringi hasil yang memadai.

à Lama – lama buruh berontak à barang modal jadi milik bersama à ZAMAN SOSIALISME -à dilanjutkan dengan zaman KOMUNISME dengan ciri tidak ada pemerintahan. Manusia bekerja bukan sekedar cari makan tapi untuk ekspresi diri.

Teori evolusioner ini diubah oleh kaum komunis Rusia jadi teori Revolusioner :
1. Merebut kekuasaan dengan kekerasan dari tangan Tsar Rusia
2. membentuk monopoli politik dg mendirikan partai mayorita stangguh
3. Monopoli kekuatan militer
4. mempercepat kemajuan ekonomi dnegan menggunakan mekanisme non pasar ( perencanaan terpusat ).

b. TAHAP – TAHAP PERTUMBUHAN EKONOMI DARI ROSTOW

Melihat pembangunan ekonomi sebagai proses perubahan yang bersifat garis lurus dan bertahap. à lihat fotocopy

Ciri – ciri :
a. Tahap Masyarakat tradisional
b. Prakondisi untuk Take off
c. Era Take off
d. Tahap Menuju Kedewasaan
e. High Mass Consumption

2. Structtural Change Model à dikembangkan dari Teoir Arthur Lewis TWO SECTOR MODELS : sektor modern dan sektor tenaga ekrja yang kelebihan tenaga kerja.
Lihat grafik Demand supply di fotocopyan


3. The International Dependency Theory


4. The Neo Classical Counter Revolution


Disebut Pendekatan yang bersahabat dengan pasar ( Market Friendly Approach ).
Pengembangan kembali ide awal teori Neo Klasik untuk diterapkan dalam pengembangan ekonomi dunia ketiga.
Mengakui kemungkinan terjadinya kegagalan pasar bila teori Neo Klasik diterapkan sepenuhnya di dunia ketiga. -=-> setuju intervensi pemerintah.
Berpendapat bahwa campur tangan pemerintah yang terbaik adalah minimal ( idem Adam Smith ) , namun pemerintah diharapkan memfasilitasi agar mekanisme pasar optimal. Misal : investasi sarana fisik spt jalan raya, pelabuhan, dan sosial ( keshatan, pendidikan ).

5. The New Growth Theory

Proses pertumbuhan ekonomi bukan sebagai fenomena jangka pendek yang didorong semata – mata oleh penggunaan modal seperti dikatakan oleh teori pertumbuhan klasik. Pertumbuhan sebagai bagian tak terpisahkan dari system pengelolaan proses produksi ( endogenous growth ).


GLOBALISASI

Merupakan proses bukan tujuan dan bukan system
Globalisasi bukan privatisasi dan bukan deregulasi
Globalisasi didirong oleh inovasi teknologi yang cepat, ekspansi pasar dunia dan liberalisasi perdagangan dan aliran modal. Globalisasi bukan ekspansionisme, bukan merupakan perpanjangan tangan dari kolonisasi atau era industrial Timbulnya pasar bebas menimbulkan perubahan paradigma dari era industrial ke era informasi.
Globalisasi menyebabkan terwujudnya perubahan kondisi menjadi lebih mudah, lebih cepat, lebih bervariasi, interelasi dan migrasi :
+ perubahan nilai ukuran kekayaan / kemakmuran : pada era pertanian ( 1700 – 1750 ): kepemilikan lahan, pada era industri : akumulasi modal, pada era informasi, penguasaan dan kemampuan memanfaatkan informasi.
+ Kenisbian batas negara
+ Mempermudah komunikasi : internet
+ Investasi lintas batas negara à pesawat terbang
+ Perlipatgandaan jumlah dan mutu produksi
+ Mempermudah gerak
+ Memperdekat jarak
+ Migrasi / asimilasi

Munculnya Ekonomi Global

a. Integrasi Pasar Internasional


Dalam ekononomi global, kebijakan ekonomi domestik harus mencerminkan realitas global. Konsekuensinya, pemerintah harus mengembangkan kebijakan yang menghasilkan insentif ekonomi dan financial global. Pemerintah dan kalangan bisnis bersama – sama membentuk aliansi internasional yang menghasilkan manfaat ekonomi secara timbal balik. Dampaknya : krisis keuangan 1997-1998.

b. Agenda Liberalisasi

+ Liberalisasi perdagangan dan Liberalisasi Pasar Modal


Ada dua komponen yang berkaitan, yaitu liberalisasi perdagangan dan liberalisasi pasar modal. Liberalisasi perdagangan menciptakan terbentuknya irama perdagangan yang teratur dan terkendali karena barang yang diperdagangkan dapat mudah dikenali dan diperdagangkan. Namun liberalisasi pasar modal dianggap sebagai sesuatu yang problematic oleh ASEAN dan APEC terutama pasca krisis keuangan. Hal itu mengingat aliran dana lintas negara sebagian bsar tidak terdeteksi, dan dengan adanya e – commerce, pasar keuangan makin sulit diawasi oleh pemerintah.

Dengan menyadari betapa dahsyatnya pergerakan pasar modal global, Negara ASEAN dan APEC perlu membuat pembedaan antara liberalisasi perdagangan dan liberalisasi pasar modal. Namun sulit memisahkan liberalisasi perdagangan dari isu makro ekonomi. Tujuan program liberalisasi adalah menciptakan ekonomi pasar yang efisien dan disinilah peran APEC dan ASEAN di tingkat regional.


d. Konsep GII ( Global Information Infrastructure ) dan GIS ( Global Information Society )

+ GII ( Global Information Infrastructure )

Teknologi internet, e commerce, telepon genggam, satelit penurunan biaya telekomunikasi membuat pelayanan jasa menjadi lebih terjangkau dan makin mudah diakses di Negara berkembang.

E Commerce

Dengan e commerce terjadi pergeseran dimana pasar akan lebih responsife terhadap permintaan konsumen, yaitu dari supply side marketing menuju ke demand side marketing. Juga e commerce memperpendek rantai produksi dan distribusi, peningkatan belanja virtual melalui internet, serta penurunan biaya untuk masuk ke pasar bagi industri kecil dan menengah.


+ GIS ( Global Information Society )
1. Produksi yang bersifat customized dan semi customized dan hubungan antara pelanggan – pekerja dan klien akan membutuhkan perhatian yang lebih personal.
2. Pekerja manual dan kerah putih kantoran menuju ke pekerjaan berdasarkan pengetahuan ( knowledge based workers ). Pergeseran dari bekerja di kantor menjadi bekerja di luar kantor / rumah.
3. Munculnya GIS juga dapat dilihat nyata dari industri komunikasi, dimana orang mempunyai pergi nonton film ke bioskop, atau menontonnya melalui DVD, atau internet. Juga dalam berkomunikasi ada telepon, telepon genggam, internet, net phone, fax, videokonferensi.